Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Perkembangan Industri Rokok di Jawa Tengah

Sejarah Perkembangan Industri Rokok di Jawa Tengah

RiauMagz.com - Diantara yang lainnya, mungkin nama Nitisemito seorang pengusaha kretek bisa disebut sebagai pelopor industri rokok sedari zaman Belanda. Maka tak heran bila banyak ditemukan tulisan maupun foto-fotonya mengenai dirinya dengan mudah ditemukan dalam museum hingga internet. Jika merunut jejak sejarah kretek di Jawa tengah ternyata rokok kretek telah berkembang meski belum dalam skala besar.

Menurut website Departemen Perindutrian dan Perdagangan, terdapat tak kurang dari 423 perusahaan rokok atau pun penyuplai bahan baku rokok di seluruh Indonesia. Diantaranya terdapat 110 perusahaan yan gberlokasi di Jawa Tengah. Ternyata terdapat 1 perusahaan rokok asal Riau yaitu Said Hairum yang berlokasi di Belingkas, Pulau Cawan, Indragiri Hilir, Riau yang memproduksi Daun Rokok Nipah. Pucuk daun nipah dikupas, dikeringkan lalu dijual.

Artikel Sejarah Perkembangan Industri Rokok di Jawa Tengah ini dikembangkan karena terinspirasi dan bersumber utama dari buku Naskah Sumber Arsip Rokok Kretek di Jawa Tengah terbitan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah tahun 2018, yang ditambah dengan berbagai sumber tulisan-tulisan lain. Tulisan ini tidak memuat seluruh tulisan-tulisan mengenai industri rokok di Jawa Tengah.

Sejarah Rokok Tembakau

Tembakau (tobacco) adalah komoditas perkebunan yang daunnya dipanen sebagai bahan baku rokok, cerutu atau dikunyah. Kata tembakau merupakan kata serapan dari bahasa Spanyol "tabaco" yang berarti daun-daunan yang digulung. Bahasa Spanyol untuk tabaco itu sendiri berasal dari bahasa Arawakan khususnya bahasa Taino di sekitar Karibia.

Iain Gately dalam bukunya Tobacco: A Cultural History of How an Exotic Plant Seduced Civilization yang diterbitkan oleh Grove Press di New York tahun 2001 menyebutkan bahwa Bartolome de Las Casas merasa kecewa kepada bangsa Eropa yang mengeksploitasi tanaman tembakau. Bartolome dianggap sebagai orang-orang pertama yang menulis tentang tembakau, selain Columbus dan Fernandez. Catatan Bartolome de Las Casas ini terdapat dalam catatan berjudul Apologetica Historia de las Indies, yang berada di Nueva Biblioteca de Autores Espanoles tahun 1527 (sebagian catatan menyebutnya tahun 1522). Catatan yang berisi tentang dekade penghancuran Hindia Barat oleh bangsa Eropa dan kearoganan bangsa penjajah terhadap penduduk asli, kemudian telah diedit ulang oleh M. Serrano di Sanz. Madrid tahun 1909.

Catatan Bartolome tidak terpublis dan muncullah catatan lain tentang tembakau dari Gonzalo Fernandez de Oviedo dengan judul Historia General y Natural de las Indias, Islas y Tierra-firme del mar Oceano pada tahun 1535.

Dalam catatan yang berbeda, Bartolome adalah seorang pendeta yang lahir tahun 1474 atau 1484 di Madrid dan meninggal tahun 18 Juli 1566. Catatan ini lalu dikutip dalam buku "Smoke: A Global History of Smoking" terbitan Reaktion Books Ltd di London tahun 2004. Editor buku ini dilakukan oleh Goldwin Smith Professor of Humane Studies, Sander L. Gilman, dan Zhou Xun. Golden Smith dan tim menyebutkan bahwa Bartolome di tahun 1514 melakukan pekerjaan pengeditan Catatan (manuskrip) Perjalanan Columbus yang pernah hilang. Dalam catatan hasil editan tersebut, Bartolome tetap menuliskan tentang pengalaman Colombus melihat penduduk asli Indian menghisap rokok.

Mengenai Columbus, Golden Smith menyebutkan pada 6 November 1492 dua anggota kru Columbus kembali dari petualangan mereka di pedalaman Kuba. Mereka melaporkan pertemuan dengan penduduk asli di mana mereka merokok daun kering seperti yang ditawarkan kepada Columbus sebagai hadiah sebulan sebelumnya, pada 15 Oktober 1492. Luis de Torres dan Rodrigo de Jerez, dalam menghirup asap dari daun yang terbakar ini, menjadi orang Eropa pertama yang "merokok tembakau". Ini menandai awal dari serangkaian pertemuan antara dua budaya merokok.

"on 6 November 1492 two members of Columbus's crew returned from their adventures in the interior of Cuba. They reported an encounter with the natives in which they had smoked dried leaves like those that Columbus had been offered as a present a month earlier, on 15 October 1492. Luis de Torres and Rodrigo de Jerez, in inhaling the smoke from these burning leaves, became the first Europeans to smoke tobacco. This marked the beginning of a series of encounters between the two cultures of smoking."

Sedikit kalimat berbeda oleh Peter T. Furst dalam artikel "Tobacco" pada buku berjudul "The Christopher Columbus Encyclopedia". Buku yang menuliskan tentang perjalanan Christopher Columbus keliling dunia ini juga menjelaskan tentang tembakau (tobacco). Buku ini terbit dengan Silvio A. Bedini selaku editor, bekerjasama dengan berbagai tim editor seperti David Buisseret (The Newberry Library), Helen Nader (Indiana University), Wilcomb E. Washburn (The Smithsonian Institution), dan Pauline Moffit Watts (Sarah Lawrence College). Buku The Christopher Columbus Encyclopedia terdiri dari 2 jilid buku yang berisi sekitar 350 artikel asli perjalanan Columbus yang ditulis ulang oleh sekitar 150 kontributor (salah satunya Peter T. Furst) dengan masing-masing tulisan memuat sekitar 250 sampai 10,000 kata. Diterbitkan oleh Simon & Schuster Inc. pada tahun 1992.

Peter T. Furst menyebutkan bahwa Luis de Torres dan Rodrigo de Jerez sesuai jurnal Admiral pada 6 November 1492 menjadi orang Eropa pertama yang "melihat" penduduk asli India merokok yang terbuat dari herbal yang disebut tabaco dalam bahasa Arawakan.

Catatan panjang tentang rokok tembakau bahkan dapat ditelusuri lebih jauh lagi ke abad 9 pada kata "tabbaq", atau mungkin jauh sebelum abad 9 tersebut.

Lihat :
https://books.google.co.id/books?id=gmmMCwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
https://books.google.co.id/books?id=mM5bYb_uVcwC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
https://books.google.co.id/books?id=x41jVocj05EC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false


Sejarah Perkembangan Industri Rokok di Jawa Tengah
Trabajadora clasificando tabaco por longitud y color en Java (Indonesia), alrededor de 1920
https://commons.wikimedia.org
  

Rokok Roro Mendut

Catatan pertama tentang rokok di Indonesia khususnya di Jawa Tengah dari buku Naskah Sumber Arsip Rokok Kretek di Jawa Tengah ditempati oleh Roro Mendut. Roro Mendut merupakan putri dari Pati, seperti yang tertulis dalam naskah Pranacitra (1627-1847) yang diterjemahkan Dr. C.C. Berg yang menyebutkan bahwa pemakaian bumbu-bumbu dalam pembuatan rokok telah dilakukan olehnya. Roro Mendut juga diketahui saat itu telah menikah dengan Tumenggung Wiroguno salah seorang panglima perang kepercayaan sultan agung. Pada kisah yanng lain disebutkan bahwa Roro Mendut mencari uang melalui penjualan rokok kretek untuk membayar pajak kepada Tumenggung Wiroguno.

Rokok yang dijual merupakan jenis rokok klobot atau rokok kretek dengan ciri khas daun jaung kering sebagai pembungkus. Keistimewaan rokok ini ada pada proses perekatan bahan-bahan ke dalam klobot menggunakan ludahnya, sehingga rokoknya disukai oleh pembeli terutama kaum laki-laki.

Perjalanan Roro Mendut dari nDalem Ketemenggungan Wiroguno sampai ke Pasar Prawiromantren saat itu menjadi banyak perhatian rakyat. Bagaikan konvir, Roro Mendut disertai dengan abdi-abdi yang membawa bahan dan peralatan jualannya. Jualannya adalah rokok linting utuh yang dilinting daun jagung panjang dan diikat dengan benang sutra. Beriring waktu, bukan hanya rokok utuh yang terjual, tetapi juga rokok bekas hisapan Rara Mendut. Rokok linting yang telah disulut dan dihisap bibir Rara Mendut justru menjadi daya tarik tambahan yang memesona para perokok. Bekas bibir dan air liur Roro Mendut membuat rokok linting bekas itu memiliki harga tersendiri sesuai panjang pendek sisa yang ada.

Rokok linting Roro Mendut memiliki harga tak terjangkau oleh rakyat biasa saat itu. Hanya rakyat berduit banyak yang dapat membeli rokok linting Rara Mendut. Bagi perokok yang tidak dapat membeli rokok linting tersebut, mereka hanya duduk dan memperhatikan pesona dan sensasi Roro Mendut yang duduk bersimpuh di belakang tirai untuk melinting dan memberi lem dengan ulasan lidahnya.

Kisah Roro Mendut ini cukup detil dalam bahasa Jawa lalu dikisahkan kembali oleh Ki Patraguna di tahun 1791 serta juga diterjemahkan oleh C.C. Berg. Menurut C.C.Berg bahwa tuturan kisah roman sejarah Roro Mendut berkisar pada penjualan rokok klobot muncul sekitar tahun 1627-1847. Sedangkan menurut Hazeau, cerita Roro Mendut muncul pada zaman Kartasura antara tahun 1681-1743. Kedua pendapat itu menjelaskan bahwa rokok telah ada sejak abad ke 17 dalam kehidupan rakyat Jawa. Disebutkan bahwa Roro Mendut membuat rokok klobot sekitar 30 buah yang kemudian semakin meningkat untuk pembeli di sekitar Keraton Mataram kawasan Vornstenladen.

Dalam buku kretek Jawa halaman 134 disebutkan bahwa produksi rokok klobot Roro Mendut belum dapat disebut sebagai titik awal industri rokok Jawa khususnya Jawa Tengah. Industri rokok Jawa Tengah muncul sekitar kawasan Pantura trutama di Kudus dengan bentuk industri rumahan antara paruh kedua abad 19. Sekitar tahun 1870 muncul rokok klobot jenis baru yang disebut "rokok kretek" yang menjadi momentum awal sejarah industri dan perdagangan rokok di Jawa.

Lihat :
Cornelis Christiaan Berg (Dr. C.C. Berg)
Pranaatjitra: een Javaansche liefde, uit het Javaansch vertaald; met medew. van M. Prawiroatmodjo, Santpoort. 1930.
https://www.dutchstudies-satsea.nl/deelnemers/cornelis-christiaan-berg/
Terjemahan Pranacitra dari bahasa Jawa ke bahasa Belanda. Buku ini dijual oleh Journal of the Royal Asiatic Society, Cambridge University of the Royal Asiatic Society seharga 20 Pound sterling.

Serat Pranacitra-Rara Mendut dan Trilogi Novel Karya Y.S. Mangun~ijaya: Sebuah Telaah Intertekstualitas
Ketua Peneliti : Dra. Trisna Kumala Satya Dewi. M.S.
Fisip Universitas Airlangga Surabaya

Kretek Jawa; Gaya Hidup Lintas Budaya. Rudy Badil, TR Setianto Riyadi. Cetakan pertama 2011. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Jakarta.
https://books.google.co.id/books?id=jihIDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

Rokok Haji Djamhari

Dalam sejarahnya pada akhir abad ke 19, penemuan rokok sekitar tahun 1870-1880 oleh Haji Djamhari atau kadang disebut Haji Djamahri, salah seorang warga Kudus sebagai obat bagi penyakit bisa dikatakan dilakukan secara tidak sengaja. Ia yang tengah menderita sakit dibagian dada dan melakukan pengobatan dengan cara mengosok-gosok minyak cengkeh bagian dada dan pinggang. Namun sayangnya cara ini belum sepenuhnya berhasil sehingga ia membuat percobaan dengan merajang cengkeh sampai halus dan mencampurnya dengan tembakau yang kemudian menggunakan daun jagung untuk membungkus serta dilinting menyerupai bentuk rokok.

Rokok klobot ini ketika dibakar menimbulkan suara "kretek... kretek..." dan orang-orang menyebutnya "rokok kretek". Dengan metode dihisap asapnya itu ternyata memberikan efek luar biasa, yakni penyakit dadanya berangsur membaik. Alhasil, cara pengobatannya dengan cepat tersebar ke seluruh daerah tempat tinggalnya. Maka tak heran jika orang-orang mulai berbondong-bondong datang meminta “rokok mujarab” yang dihisapnya.

Dari kenikmatan menghisap rokok mujarab tersebut. Haji Djamhari menerima banyak permintaan dan rokok menjadi barang dagangan yang laris di Kudus pada saat itu. Sebelum benar-benar bisa menikmati kesuksesannya berdagang kretek, Haji Djamhari meninggal dunia pada tahun 1890.

Raja Rokok Nitisemito

Nitisemito sang "Raja Rokok" ataupun "Raja Kretek" atau "Kretek Koning" bisa dikatakan merupakan pelopor industri rokok hingga akhirnya melahirkan banyak pengusaha besar lainnya di nusantara, terutama Jawa Tengah. Nitisemito yang awalnya bernama Roesdi (1863-1953) putra ibu Markanah dan H. Sulaiman Kepala Desa Jagalan di Kudus Kulon, itu meracik rokok dengan mengoplos cengkeh dalam rajangan tembakau, dilinting dengan klobot dan diikat benang bersama istrinya Nasilah yang dinikahi sekitar tahun 1894. Rokok jenisnya sangat disukai para kusir dokar dan pedagang keliling.

Melihat kesuksesan dari produknya, barulah Nitisemito memberanikan diri untuk memproduksi rokoknya dengan label awal “Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo”. Beberapa kali berganti merk seperti Tjap Soempil dan Tjap Djeroek. Lalu kemudian berganti lagi menjadi “Tjap Bal Tiga” pada 1916. Dibantu kedua putrinya, yakni Nafiah dan Nahari dalam upaya perintisan rokok miliknya sehingga tak butuh waktu lama bagi NV Bal Tiga Nitisemito merebut kedudukan dipasaran. Di tahun 1914, Nitisemito membuka lahan 14 hektar dengan mempekerjakan 15.000 orang untuk industri rokoknya dengan mengusung nama Sigaretan Fabriek M. Niti Semito Koedoes.

Belum lagi pola strategi pemasarannya yang menarik, modern dan unik pada masanya. Sebut saja bagaimana ia mendesain kemasan dengan full color, ornament berkualitas tinggi yang kebanyakan desain lebih sederhana. Belum lagi cara unik yang dilakukan dalam media promosi dengan menyewa pesawat forkkersevesar 200 gulden untuk menyebarkan selebaran berhadiah tentang rokoknya. Lalu pemberian cinderamata, seperti cangkir, piring, gelas, jam dinding yang terpajang hamper disetiap masjid kota-kota besar, undian berhadiah sepeda (kendaraan elit saat itu) dan lainnya.

Menginjak usia ke delapan, Nitisemito telah menjadi pengusaha rokok raksasa dengan lebih dari 15 ribu tenaga kerja dan berhasil membangun pabrik seluas enam hektar di Desa Pati, Kudus. Sayangnya perusahaan harus ditutup saat ia wafat di tahun 1953, karena permasalahan perselisihan internal memberikan dampak besar terhadap jalannya roda perusahaan. Salah satunya tuduhan penggelapan pajak perusahaannya oleh pemerintah Hindia Belanda berakibat dengan penyitaan pabrik, rumah dan mobilnya. Mengingat ribuan tenaga kerja yang bergantung hidup dari pabrik, maka tetap diijinkan beroperasi sambil terus menganggsur tunggakan pajaknya.

Peninggalan pabrik Nitisemito adalah dua bangunan kembar dan telah menjadi Cagar Budaya walaupun 1 buah bangunan telah dijual kepada pihak lain.

HM Atmowidjojo

Keberhasilan Nitisemito dalam membangun usaha rokok kretek memunculkan para “raja” kretek lainnya, sebut saja H. Mohamed Atmowidjojo. Pada masa jaya perusahaannya memiliki pekerja mencapai enam ribu orang. Mengikuti jejak orangtuanya, semua anak-anaknya juga mendirikan perusahaan kretek, bahkan tiga diantaranya masuk kategori cukup besar, yakni Delima, Sogo dan Goenoeng & Klapa.

Untuk merek Goenoeng & Klapa yang berdiri sejak 1913 hingga sampai saat ini masih beroperasi dan dipimpin oleh generasi ke empat dengan total karyawan 35 orang. Tidak seperti perusahaan lain yang membuat beragam produk, usaha rokok kretek miliknya tetap mempertahankan ciri khas otentiknya dengan tetap menggunakan tali pengikat rokok yang tidak dipakai lagi pada industri rokok modern. Sementara, merek Sogo pemasarannya meliputi wilayah Lasem, Pasuruan, Tuban, Lumajang, Surabaya, Sidoarjo, Bangil dan Mojokerto.

Meski tidak disebutkan secara rinci dalam sejarah perkembangan usaha rokok kretek di Jawa Tengah. Nama-nama terkenal lainnya dalam sejarah industri rokok di Jawa Tengah seperti HM Muslich pemilik usaha rokok kretek dengan merek dagang Teboe dan Djagoeng tahun 1914, H Ali Asikin pemilik usaha rokok kretek dengan merek dagang Djangkar, Tjoa Khang Hay merek dagang kretek Trio, 1918 dan M Sirin dengan merek dagang kreteknya Garbis dan Manggis termasuk raja rokok kretek pada masanya.

Rokok H Roesydi Ma’roef

Diawal merintis bisnis rokok kretek “Sawo” H Roesydi Ma’roef hanya memiliki 15 karyawan yang membantu proses produksinya. Dengan wilayah pemasaran mencakup Jawa Tengah (Kudus, Jepara, Rembang, Semarang, Tegal, Pekalongan dan Batang) dan Jawa Timur (Surabaya, Lamongan dan Babat).

Perusahan yang sudah berdiri sejak 1937 bahkan sebelum kemerdekaan itu mengalami perubahan dari segi nama merek dagang menjadi “Djambu Bol” dan sempat pula terhenti akibat adanya invasi dari Jepang ke Indonesia pada 1942. Sebelumnya memproduksi rokok klobot dengan lintingan daun jagung, baru tujuh tahun kemudian, perusahaan ini mampu bangkit dan menemukan pijakan kembali dengan memproduksi kretek papper wrapped (kertas pembungkus) sebagai pengganti klobot yang telah digunakan sejak dahulu kala.

PT. Jambu Bol awalnya bernama Perusahaan Rokok Djambu Bol sebelumnya fokus pemasaran di Jateng dan Jatim. Dalam perkembangannya pemasaran Djambu Bol lebih dipusatkan di luar Jawa sehingga hampir 95 persen konsumennya berasal dari Sumatera Utara dan Lampung. Dari yang hanya ada 15 karyawan sampai akhirnya memiliki lebih dari empat ribu karyawan. Perusahaaan bumiputera terbesar di Indonesia yang berada di Kudus itu tetap mempertahankan tradisi kretek handmade akhirnya harus gulung tikar pada 2008, karena makin ketatnya persaingan pasar.

Mochammad (Mc) Wartono

Perusahaan kretek dengan nama awal Siyem berubah menjadi Soekoen itu menuai sukses dengan merek terbarunya. Terbukti dari jumlah produksi yang mencapai angka jutaan batang rokok perharinya dengan ribuan tenaga kerja. Meski tak dijelaskan secara pasti kapan perusahaan ini berdiri. Namun perusahaan yang dibangun di Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kudus itu hingga saat ini masih bertahan. Sebab, Mochammad (Mc) Wartono sejak merintis menggunakan sistem organisasi yang dikelola sesuai kompetensi yang dimiliki karyawan-karyawannya. Wartono sang pendiri Rokok Sukun lahir pada tahun 1920 di Desa Gondosari, Kecamatan Gebog, Kudus sebagai anak keempat dari enam bersaudara dari ayah Singo Sarpani dan ibu Saijah. Ayahnya adalah Lurah Gondosari saat itu.

Wartono menikah dengan Sutarsi pada 15 Agustus 1941 dan memiliki enam anak Sri Fatimah Wartono, Tasan Wartono, Annie Wartono, Rindho Wartono, Yusuf Wartono, dan Edy Wartono. Awalnya Wartono hanya membantu kakaknya, Kamad yang bertugas sebagai kasir pada perusahaan rokok kretek H. Moeslich dengan merk Tebu dan Jagung.

Merk Siyem dibuat Wartono pertama kali pada tahun 1947 berupa rokok klobot dan sigaret secara sederhana. Dengan perkembangan usaha, Wartono merubah merk menjadi Soekoen pada tahun 1950 diiringi pembangunan gedung baru di sekitar rumahnya untuk perluasan pabrik rokoknya. Kemudian dia mendirikan bangunan 2 tingkat di tahun 1960 untuk menjadi pabrik Rokok Sukun yang berdiri sampai sekarang.

Usahanya kemudian dilanjutkan oleh putra-putrinya ketika ia meninggal pada 20 Januari 1973 diusia 53 tahun. Terdapat tiga jenis rokok yang masih di produksi pabrik sukun, yakni kretek jenis SKT (sigaret kretek tangan), SKM (sigaret kretek mesin) dan rokok klobot yang masih dipertahankan eksistensinya karena masih banyak dikerjakan oleh karyawan generasi pertama awal memulai usaha, sesuai dengan amanat pendirinya. Perlu diketahui, 90 persen tenaga pekerjanya merupakan wanita yang biasa ditempatkan dibaagian giling, batil, linting dan pengepakan.

Usaha Wartono dijalankan oleh anak keturunannya yaitu PR Siyem pada putri pertama (Sri), PR Langsep pada putri ketiga (Anie), dan PR Sukun pada putra kedua (Tasan). Lalu PR Sukun berkembang ke usaha lain berupa perusahaan percetakan Sukuntex dan Sukun Druk serta sebuah perusahaan transport Sukun Transport yang ketiganya dijalankan oleh Rindho, Yusuf dan Edy.

Lihat juga https://sukunsigaret.com

Koo Djee Siong (Rokok Nojorono)

Didirikan di Desa Godi, Pati, Jawa Tengah dari sebuah firma kecil pada 14 oktober 1932 sebagian menyebutnya 11 Februari 1932. Bila perusahaan lain umumnya diwariskan secara turun temurun, untuk Nojorono sendiri dikelola secara kolektif oleh lima keluarga sekaligus. Berawal dari Tjoa Kang Hay yang pernah bekerja dengan Nitisemito mengajak dua saudaranya, yakni Tan Tjiep Siang dan Tan Kong Ping untuk mendirikan Trio. Barulah kemudian Kang Hay juga mulai mencari rekan baru dari kudus untuk mendirikan Nojorono dan didapatkanlah Ko Djee Siong dan Tan Djing Thay. Tidak hanya berkutat dengan urusan jual beli saja, sejak berdiri Nojorono juga aktif membantu berbagai kegiatan sosial dilingkungan pekerja maupun masyarakat sekitar.

Firma itu awalnya hanya memproduksi kretek klobot dengan merek dagang Minakdjinggo yang juga merupakan nama dalam tokoh pewayangan Jawa. Perbedaan Minakdjinggo dengan kretek jenis lainnya ada pada penggunaan paraffin semacam filter tradisional yang membuat kertas tidak mudah rusak saat rokok dihisap. Saat proses produksi rokok kretek Bal Tiga milik Nitisemito terganggu, Nojorono memutuskan untuk menambah jumlah produksi kreteknya yang sebelumnya disuplai oleh Bal Tiga.

Menerapkan industri padat karya, Firma ini memiliki lebih kurang 397 karyawan bulanan, 1554 karyawan harian dan tujuh ribu karyawan borongan yang umumnya berasal dari Kudus dan rata-rata pegawainya merupakan wanita. Untuk bisa menjadi staf perusahaan atau mandor maksimal merupakan lulusan SMA, sedangkan karyawan borongan pemilihannya biasanya bersifat turunan. Perusahaan ini kini bernama PT Nojorono Tobacco International sejak 1973.

Terobosan pesat yang dilakukan oleh Nojorono adalah dipasarkannya sigaret kretek mesin light mild dengan merk rokok Class Mild yang merupakan sebuah produk rokok low tar dan low nikotin di tahun 2003. Rokok ini melesat dalam 2 tahun menjadi rokok nomor 2 yang paling dicari di Indonesia. Nojorono memproduksi berbagai jenis rokok seperti sigaret kretek tangan (Minak Djinggo, Aroma, Maraton, Matra, Perdana), sigaret kretek tangan slim (Aroma Slim), sigaret kretek mesin full flavor (Nikki, Aroma, Matra, Maraton, Jazy, Niko), sigaret kretek mesin light mild (class mild, Aroma mild, Nikki super, Niko International mild).

Djarum Gramophon

Menilik sejarahnya, perusahaan ini berdiri sejak 21 April 1951 dengan merek dagang Djarum. Diketahui Djarum semula merupakan milik seorang pengusaha kretek bumiputera dari N.V Moeroep yang dijual kepada Oie Wie Gwan karena sudah tidak beroperasi lagi. Awalnya, Moeroep memproduksi rokok merk Djarum Gramofon yang biasa disingkat Djarum. Setelah kedatangan Gwan, pemasaran produk merek dagang Djarum diperluas ke Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebelumnya hanya dipasarkan di wilayah Kudus.

Berawal dengan 10 karyawan dengan rumah produksi di Jalan Bitingan Baru (sekarang menjadi Jalan A. Yani no 28 A) Kudus. Berkat tangan dinginnya, perusahaan rokok Djarum sempat berkembang diikuti kemalangan berupa kebakaran dan meninggalnya Oie Wie Gwan di tahun 1963. Kedua anaknya Robert Budi Hartono dan Michael Bambang Hartono melanjutkan usaha Djarum yang kemudian berada dipuncak masa jayanya pada 1967. Beberapa tahun kemudian tepatnya 1972 Djarum juga menjajal pasar luar negeri. Upaya tersebut mengantarkan Djarum sebagai merek dagang paling popular diluar negeri. Apalagi anak-anak Oie Wie Gwan adalah tipikal pengusaha yang selalu melibatkan diri pada proses produksi, misalnya dengan ikut turut serta dalam proses mencampur tembakau dengan saus.

Dalam perkembangannya terdapat tiga merek terkenal dari perusahaan ini, yakni Djarum filter (1976), Djarum super (1981) dan Djarum Cigarillos. Untuk Djarum Cigarillos merupakan kretek jenis cerutu pertama didunia yang dalam proses pembuatannya itu dengan belajar terlebih dahulu di Oud Kampen Cigarillo Factory di Belanda. PT. Djarum sekarang menjadi perusahaan induk dari berbagai anak perusahaan yang dikelolanya.


Video iklan rokok Bentoel jadul

RiauMagz, Wisata Riau, Wisata Sejarah Jawa Tengah.