Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Pendirian Rehabilitasi Centrum (RC) Dr Soeharso Surakarta

Sejarah Pendirian Rehabilitasi Centrum (RC) Dr Soeharso Surakarta
RiauMagz.com - Sejarah berdirinya RC Surakarta atau yang sekarang disebut Rumah Sakit Ortopedi Dr. Soeharso atau terkadang disebut juga Rumah Sakit Tulang Solo berawal dari banyaknya rakyat hingga tentara Republik Indonesia (RI) yang terluka akibat berperang mengusir penjajahan di bumi pertiwi. Akibat terkena peluru, granat maupun bom banyak dari mereka yang mengalami kecacatan pada anggota tubuh hingga harus diamputasi.

Berbagai kondisi kecacatan (disablement) ini menjadikan masalah ortopedie mendesak untuk segera mendapat pemecahan masalahnya. Sebut saja salah bentuk (deformities), salah sambung (malinited fractures) maupun salah bentuk persendian (joint deformities) meninggalkan bekas permanen ataupun penyakit menetap (chronisch) yang menganggu kemampuan untuk bekerja dan beraktivitas sehari-hari.

Nama Profesor Dokter R Soeharso dikenal sebagai pelopor adanya RC Surakarta kedepannya. Sebagai ahli bedah di Rumah Sakit (RS) Surakarta bersama Soeroto Reksopranoto, ia memutuskan untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang menderita akibat peperangan sekitar tahun 1946. Pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah pada 13 Mei 1912 itu merupakan anak ke 4 dari keluarga R Sastrosuharjo yang bermata pencaharian sebagai pamong praja dan juga seorang petani.

Pendidikan bisa dikatakan penting bagi Soeharso muda, menilik sejarahnya, ia adalah lulusan dari HIS Salatiga pada 1926. Kemudian melanjutkan pendidikan Mulo Solo (1930), memperoleh ijazah indish-arts (NIAS) Surabaya (1939), lalu tahun 1956 berhasil memperoleh diploma International College of Surgeon Geneva dan satu tahun kemudian (1957) ia juga mendapatkan ijazah keahlian dalam ilmu bedah dokter ahli (IDI).

Ia menikah dengan RA Jonar Insiyah (1941) dan dikaruniani tiga orang anak, yakni Tunjung Sulaksono, R. Tunjung Wijayanto dan R. Tunjung Hanurjojo sembari meniti karir dibidang kedokteran. Diketahui sejak 1939-1941, ia menjabat sebagai asisten ilmu bedah umum di CBC Surabaya, lalu 1941-1944 bekerja sebagai dokter pemerintah di Ketapang, Kalimantan Barat dan 1944-1970 mulai berkecimpung di bagian ilmu bedah RSU Surakarta, Rehabilitasi Centrum Penderita Cacat serta lembaga yang berkaitan dengan orthopaedie, prothese maupun penderita cacat.

Sebelum masuk kedalam pembahasan RC Surakarta. Ada baiknya kita mengetahui lebih dulu, apa itu rehabilitasi, orthopedie dan prothese terlebih dahulu. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan (keadaan, nama baik) yang dahulu (semula); perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu (misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umumnya rehabilitasi adalah suatu proses perbaikan atau penyembuhan dari kondisi yang tidak normal, merupakan pelatihan untuk menghadapi kondisi yang mungkin sudah tidak bisa dikembalikan menjadi normal contohnya kondisi cacat dan sebagainya.

Rehabilitasi memiliki banyak jenisnya, mulai rehabilitasi fisik, mental dan lainnya. Dalam hal ini, rehabilitasi fisik yang paling cocok dengan keadaan pasien usai perang, karena rehabilitasi berarti melatih fisik untuk kembali ke kondisi awal atau melatih fisik guna menyesuaikan dengan kondisi fisik saat ini.

Lantas apa itu orthopedie dan prothese?, orthopedie adalah cabang ilmu kedokteran yang menangani berbagai kelainan dan perlukaan sistem musculoskeletal atau berkaitan dengan segala macam keluhan alat gerak dari leher sampai ujung jari kaki. Dari rasa nyeri, kelemahan, kelumpuhan, kesemutan, luka sampai kaku yang dialami bayi sampai orang lanjut usia. Sementara prothese adalah sebuah alat kesehatan yang didesain untuk menggantikan bagian tubuh tertentu guna membantu pasien mendapatkan kembali fungsi tertentu setelah bagian tubuhnya cidera berat karena kecelakaan, perang atau terkena penyakit.

Itulah kenapa penting RC Surakarta bagi orang-orang yang terdampak langsung dengan perang untuk proses penyembuhan diri. Setelah memutuskan membantu, Soeharso bersama rekan-rekannya, seperti tukang kayu dan tukang besi menggunakan garasi mobil RS Surakarta sebagai lokasi pertolongan dengan dilengkapi peralatan sederhana, maka berdirilah “Usaha Prothese Surakarta”.

Pembuatan awal berupa kruk sebagai alat bantu (prothese) untuk berjalan. Eksperimen prothese dibuat hanya bermodalkan besi rongsokan mobil dan sepeda, aluminium dari rongsokan pesawat terbang, kayu waru, kayu jati, kulit sapi, kulit kambing hingga baja dari bekas rel kereta api. Untuk modelnya, mereka hanya meniru gambar-gambar dari katalog kedokteran Prancis sehingga hasil pembuatan diawal masih sangat sederhana.

Kendati begitu, hasilnya tetap dinanti oleh para penderita cacat yang ada. Produksi awal tahun 1946 menghasilkan empat buah prothese untuk amputee atas lutut dan sembilan prothese untuk amputee bawah lutut. Tahun berikutnya produksinya melesat diangka 69 prothese kaki dan 33 prothese lengan produksinya.

Melihat manfaat dan kegunaan bengkel tersebut, pada pertengahan tahun 1948, usaha prothese diambil alih oleh negara melalui Kementrian Kesehatan dan berganti nama menjadi “Lembaga Orthopaedie dan Prothese”. Lokasinya bahkan telah berpindah ke bangsal bekas Nood Hospitaal yang berada dibelakang RS Surakarta dengan peralatan yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga kualitas dan kuantitas terjaga. Terlebih lagi bagi para penderita cacat, mereka mendapat fasilitas “Asrama Envalieden” dengan jaminan pemondokan, makan, minum, pakaian dan pada hari-hari besar nasional diberikan sanjungan sebagai pahlawan perjuangan kemerdekaan. Bahkan Prothese juga diberikan secara cuma-cuma alias gratis.

Pemerintah juga berupaya memberikan mereka pelatihan berbagai macam pekerjaan atau kerajinan tangan dengan kesehatan jasmani dan rohani. Melalui program nasional pertolongan penderita cacat dengan tema “Rehabilitation of The Physically Handicapped” ditaja oleh Kementrian Kesehatan, Sosial, Pertahanan, Perburuhan dan Pendidikan bekerjasama dengan program Dr Soeharso tersebut.

Berbagai penyuluhan dilakukan melalui radio, interview, majalah dan surat kabar disampaikan pejabat pusat sampai daerah dengan tujuan membantu para penderita cacat disetiap daerah. Hasilnya seperti bisa ditebak, banyak penderita cacat yang berdatangan ke Surakarta untuk mendapatkan prothese itu. Akibatnya permasalahan menjadi semakin kompleks pula setelah itu, berkaitan dengan pemondokan, perawatan, pengisian waktu tunggu selama pembuatan prothese dan lainnya. Bahkan setelah diambil ahli oleh Kementrian Sosial pada 1950 pun usaha untuk melanjutkan pembiayaan maupun program rehabilitasi belum memberikan hasil peningkatan yang maksimal terhadap persoalan penderita cacat tersebut.

Kemajuan baru terlihat setelah mendapat kunjungan dari Gubernur Militer Jawa Tengah, Kolonel Gatot Soebroto dan bantuan dari British Council. Perubahan mulai terjadi ketika bekas Noodhospital dibangun kembali menjadi pusat rehabilitasi. Dengan dilengkapi ruangan kantor, pendidikan, latihan kerja, asrama hingga penambahan mesin-mesin dan alat-alat modern untuk latihan kerja juga diberikan.

Perbedaan paling jelas tampak pada penempatan seorang perwira beserta staff untuk membantu memperhatikan kepentingan-kepentingan penderita cacat angkatan perang. Selain itu, British Council juga menyiapkan beasiswa bagi rakyat yang tertarik mempelajari teknik “Prothese dan Orthetic” di negara Inggris. Perkembangan juga terus berlanjut hingga tahun berikutnya, adanya peningkatan fasilitas penyediaan gedung, perlengkapan, pembiayaan dan pengetahuan tentang pusat rehabilitasi pertama dengan nama “Balai Pembangunan Penderita Tjatjat”.

Sejarah panjang “Balai Pembangunan Penderita Tjatjat” dalam upaya memulihkan kemampuan jasmani dan mendidik penderita cacat agar bisa cocok untuk dunia kerja dituangkan dalam brosur yang ditulis 52 halaman kedalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan judul “New Fronties”. Memuat sejarah rehabilitasi dibentuk, hasil yang dicapai hingga kekurangannya disertai gambar, foto, statistik dan skema sebagai bukti. Barulah hal ini membuahkan hasil setelah perserikatan bangsa-bangsa (PBB) mengirimkan Dokter Henry H Kessler yang merupakan seorang konsultan urusan rehabilitasi yang bertugas mencatat dan melaporkan kegiatan rehabilitasi penderita cacat di Indonesia. Faktanya, “Balai Pembangunan Penderita Tjatjat” adalah pusat rehabilitasi terlengkap di Asia Tenggara.

Kondisi fisik ini menyebabkan permasalahan pengangguran, sulitnya mencari pekerjaan bagi penyandang cacat membuat pusat rehabilitasi ini berkoordinasi dengan Kementerian Perburuhan untuk membantu mengatasi masalah tersebut. Pembentukan seksi penempatan khusus yang mempunyai tugas melatih dan menempatkan penderita cacat terlatih pada perusahaan-perusahaan swasta dengan membayar gajinya selama masa percobaan.

Bukan hanya itu, bentuk dukungan juga diberikan Kementrian Perburuhan dalam hal pemberian modal bagi perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh penderita cacat terlatih secara perseorangan maupun dalam bentuk koperasi. Modal pertama (1955) diberikan kepada “Jajasan Penampungan Penderita Tjatjat” untuk mendirikan bengkel “Prothorto”.

Akibat mengalami demobilisasi Angkatan Perang RI yang cacat semakin bertambah, sehingga pemerintah memutuskan untuk menyempurnakan pusat rehabilitasi di Surakarta. Hasil perolehan sumbangan dari Divisi Brawijaya digunakan untuk mendirikan asrama bagi 100 orang beserta dengan fasilitas lainnya, seperti ruang rekreasi, RS lengkap dengan kamar operasi, ruang physiotherapy, ruang rontgen, laboratorium, bangsal berisi 50 tempat tidur dan berbagai alat keperluan pendidikan disiapkan.

Mengingat pembangunan dilakukan secara besar-besaran, hal ini menarik perhatian mata dunia, sehingga peresmian pemasangan “Blandar Panuwun” gedung operasi dihadiri langsung oleh Presiden RI Ir Soekarno pada 11 November 1953. Barulah pada April 1955, Kementrian Kesehatan, Presiden RI Ir Soekarno dan Expert pertama PBB Dokter Toffelmeyer meresmikan RS Surakarta dengan diperbantukan tenaga-tenaga ahli PBB/WVF sebanyak 12 orang.

Seiring berjalannya waktu, Kementrian Sosial merubah Balai Pembangunan Penderita Tjatjat menjadi Lembaga Rehabilitasi Penderita Tjatjat (LRPT). Sedangkan Usaha Prothese diubah menjadi Lembaga Prothese dan kembali diubah menjadi Lembaga Orthoepaedie dan Prothese oleh Kementrian Kesehatan. Kemajuan LRPT dapat dilihat dalam pembuatan sepatu orthopaedie, braces dan alat penguat lainnya yang semakin baik dan berkualitas, semua itu berkat anjuran dari Dr Henry H Kessler.

Bukan hanya itu saja, PBB memberikan bantuan teknik berupa ahli bedah orthopedie, perawat orthopedie, physiotherapy, ahli vocational rehabilitasi, ahli prosthetic dan orthotic serta ahli administrasi kepada pusat rehabilitasi Surakarta dalam rangka pengembangan institusi dan pilot projek wilayah Asia Tenggara. Bantuan lainnya berupa narasumber ahli dari berbagai negara dalam pelatihan operasi orthopedie, yaitu Profesor Griffits dari Inggris, Profesor Katayama dari Jepang dan Profesor Risser dari Amerika Serikat. Sebagai langkah-langkah memajukan pekerjaan pemasyarakatan penderita cacat, pihak Kementrian Perburuhan, Kementrian Sosial dan Pusat Rehabilitasi Surakarta pada tahun 1956 melaksanakan Konferensi Segitiga.


Rumah sakit ini terus berkembang yang juga bekerjasama dengan YPAC Surakarta dengan Biaya RS Ortopedi Solo yang dapat terjangkau oleh masyarakat.

Lihat juga Sejarah Kereta Api di Pekanbaru Riau

RiauMagz, Wisata Riau