Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membaca Cerpen Nisan-Nisan Berbunga Karya Griven Yang Jahil

Membaca Cerpen Nisan-Nisan Berbunga Karya Griven Yang Jahil

RiauMagz.com - Telponku berdering dan sebuah nomor tak dikenal muncul di layarnya yang tak seberapa besar itu. Secara umum, aku tak akan mengangkat nomor yang tak dikenal atau yang tak tersimpan dalam catatan kontak. Tapi kali ini, ntah mengapa, aku mengangkat dan menerima telpon tersebut.

Suara seorang lelaki menyapaku dan bermaksud mengantarkan sebuah barang kiriman. Setelah kuterima barang kiriman dimaksud, aku duduk terheran. Dah lama tak belanja online, ntah darimana pula barang ini. Membolak-balik barang kiriman yang berada di tanganku dan kesulitan membaca informasi yang tertera pada bungkusan itu. Tulisan kecil dan mataku terpicing menyipit berusaha membacanya. Maklumlah akan faktor U.

Lalu sepintas terbacalah tulisan di bungkus kiriman itu, GRIVEN.

Naaaaah ini dia masalahnya. Ternyata aku lupa, beberapa waktu lalu, aku berbincang melalui jalur online dengan Griven yang bermaksud mengirim suatu barang. Terkadang aku memanggil namanya saja, Griven. Terkadang aku menambahkan kata sapaan “pak” sebelum menyebut namanya.

Kubuka bungkus kiriman itu. Jelas sudah. Sebuah buku tersembul dari bungkusan dan segera kukeluarkan dengan seksama. Pada bagian atas kulitnya tertulis dengan jelas dan pakai huruf besar. KUMPULAN CERPEN. NISAN-NISAN BERBUNGA. Sedangkan agak ke bawah sedikit, tertulis; Kata Pengantar: Dr. Shamsudin Othman. Lalu diikuti tulisan; Kata Penutup: Takamasa Osawa, Ph.D.

Nah, pada bagian paling bawah kulit buku bernuansa coklat hijau, ntah jenis hijau apa, sebaris nama; GRIVEN H PUTERA.

Awalnya aku membolak-balik buku ini. Tapi kali ini, ntah mengapa, aku memulai membaca tulisan di bagian akhir buku, tepatnya pada kulit belakang. Setelah membaca bagian belakang, aku mulai menekan kukuku pada bagian yang disiapkan percetakan buku untuk melipat kulit buku, agar buku selalu tepat terlipat lurus dan tidak miring-miring lipatannya.

Aneh, aku membaca buku Griven dari belakang, dari Tentang Penulis. Dimulai dengan tulisan; Dr. Griven H. Putera, M.Ag merupakan sastrawan Riau yang menulis beberapa buku. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Lalu pandanganku bergeser ke halaman sebelah kiri yang bertuliskan; Kyoto, Jepang, 31 Desember 2020. Diikuti baris akhir bertuliskan; Takamasa Osawa, PhD.

Matilah aku, batinku mengucap. Rencananya, tanpa diminta Griven, aku yang terlalu sok-sok jadi penulis ini hendak menulis seulas pinang pendapatku tentang buku ini. “Ndak jadilah nulis,” batinku berucap. Tak mungkin mengulas lagi tulisan orang-orang ini. Dua Doktor (Dr) dan satu pi ej di (PhD) tak mungkin diulas olehku yang suka meracau.

Aku lanjut membaca buku yang ternyata memiliki 175 halaman tulisan Griven yang dilengkapi sangat lengkap selengkap-lengkapnya dengan kata pengantar dan kata penutup.

Tulisan agak berat menurutku dari Takamasa Osawa, tertutup dengan tulisan Griven paling akhir yang renyah. Khan aku membacanya dari belakang. Ternyata, betullah tulisan pada kulit buku ini yaitu Kumpulan Cerpen.

Jahil banget neh Griven. Mengapa pula dibawanya belalang Sentadu dalam tulisan cerpennya? Griven menulis judul Tentadu pada akhir kumpulan cerpen ini. Aku tak tahu betul Tentadu itu apa. Setahu aku belalang Sentadu. Semoga kedua hal itu sama. Maaf jika salah.

Tentadu bercerita tentang kejadian umum di sebuah organisasi terbesar di negeri antah berantah. Griven ada menyebutkan Pemerintah Pusat, Kabag, Kasubag, Kasi dan seterusnya yang lalu dapat aku tebak bahwa negeri antah berantah tersebut tak lah jauh lokasinya.

Kebiasaan di negeri itu adalah pungutan liar atau mereka menyingkatnya Pungli. Kali ini kasusnya adalah pungli atas lokasi parkir halaman kantor yang disewakan secara diam-diam oleh sekuriti. Ya, istilahnya uang parkir tak resmi, karena parkir di halaman kantor itu jelas tak perlu bayar karena halaman dan gedung kantor itu milik pemerintah negeri.

Sekuriti yang ingin mendapat imbalan uang parkir akan menyiapkan satu petak parkir yang ditandainya dengan kursi plastik untuk para pemesan parkir. Tentunya petak parkir ini merupakan lokasi strategis dan terhormat yang umumnya dekat pintu masuk gedung. Dan hebatnya, aktifitas petak parkir ini didukung oleh atasannya. Bawahan menyembah atasan, menghisap darah orang lain. Orang lain yang hendak parkir jadi kesusahan.

Bagaikan ulat tentadu menghisap daun dan bunga. Hal ini juga tertera dalam motif ukiran “tantadu maisok bungo” yang diartikan sebagai “tentadu menghisap bunga”. Hal ini sebagai perlambang kehidupan seseorang yang bersenang-senang atas penderitaan orang lain.

Aku berpikir, aneh. Tapi lebih tepatnya aku menyebut “Kejahilan” Griven atas masalah umum tersebut diatas menjadi sebuah tulisan cerpen yang jika dibaca, sayang untuk dihentikan. Harus baca sampai habis agar tidak penasaran. Tulisannya sederhana, tapi memiliki dasar ide yang cemerlang yang didasari atas kejahilan mengamati sesuatu yang kecil-kecil tetapi menghasilkan sebuah tulisan yang besar.

Kejahilan Griven tak sampai disitu. Aku mulai membaca dari bagian depan. Ternyata, Griven sudah jahil dari awal tulisan. Pada tulisan pertama, aku banyak menemukan kosa kata yang sudah lama tak terdengar di tengah kota. Sangat jahil, seorang Griven menuliskan kata bacin, sasau, hamun, jujai, hencut bahkan istilah “menjejak bulan” yang dihamparkannya dalam tulisan-tulisan pada buku tersebut. Aku pun tergagap mencari padanan ataupun makna kata-kata tersebut.

Demikian seterusnya, tulisan-tulisan dalam buku yang diterbitkan oleh salah satu penerbit dari Yogyakarta ini, terhampar banyak kata-kata yang sudah jarang didengar, termasuk nama pohon. Pada tulisan berjudul “Pusara Bernisan Duhut Berbunga” mungkin akan membuat orang bertanya-tanya. Duhut itu apa? Atau lebih tepatnya Pohon Duhut itu apa?

Permasalahan yang diangkat pun sangat jahil. Mengapa Griven sampai memperhatikan ada pelangi di sebuah kacamata? Hal ini pada zaman kekinian sudah jarang ditemukan pelangi di sebuah kacamata akibat uap roti canai. Kondisi ini umumnya terjadi pada orang-orang tua yang berkacamata dan duduk di kedai kopi tradisional sambil makan sesuatu yang mengeluarkan uap. Uap ini akan terkena di kacamata lalu akan muncul bias pelangi. Kacamata yang lebih modern memiliki pelapis anti uap sehingga bias pelangi itu jarang ditemui lagi.

Selain tulisan berjudul “Pusara Bernisan Duhut Berbunga”, Griven juga mengangkat tentang kuburan, lebih tepatnya tentang kematian. Tetapi diceritakan dari sudut orang kampung, dengan masalah yang sering terjadi di kampung. “Ke Langit Bersama Azan Maghrib” merupakan tulisan pertama dalam buku ini yang bercerita tentang keadaan menjemput kematian. Lalu ada “Pelangi di Kacamata Ayah”, “Imam Sira”, “Elegi Cikgu Leman”, “Cemburu Kepada Nyonya Yang Datang Ke Makam Saban Jumat”, “Emak Pergi”, “Rindu Aisyah”, dan lain-lainnya.

Permasalahan-permasalahan sederhana yang dirasa “kok jahil amat Griven mengangkat masalah ini?” Tak lepas dari permasalahan atas pegawai pada negeri antah berantah yang lokasinya dapat diketahui. Diceritakan Griven, “Syarat jadi pejabat itu tampaknya harus pelit, Pak,” dalam tulisan berjudul “Tawil”. Dilanjutkan cerita itu dengan kalimat, “Pelit itu pada bawahan, tapi pada atasan ‘kan curah, Pak”. Dalam hal ini Griven sangat jahil melihat permasalahan negeri antah berantah.

Mungkin tingkat “Kejahilan” Griven pada buku ini berada pada level 4, mirip pada PPKM (Pembaca Pening atas Kejahilannya Menulis). Buku Griven yang lain mungkin sudah pada level 10, khususnya pada bukunya yang berjudul “Celana Tak Berpisak”. Aku menyebutnya, “Sebuah Amarah yang Estetis”. Penasaran?

Sangat berharap “kejahilan” ini akan memberi wawasan pada para pembaca. Bahwa mengamati peristiwa tidak harus dimulai dari yang besar.
Kejahilan Griven yang membuatku membuat tulisan ini.

Salam.

Attayaya
Pembaca Meracau


RiauMagz, Profil Penulis Riau, Kebudayaan Riau