Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Suku Iranun di Indragiri Hilir Riau, Sang Penguasa Laut Timur

Ditulis oleh Attayaya Zam
bersama Tim Dokumentasi Warisan Budaya Tak Benda Dinas Kebudayaan Provinsi Riau
Dipublikasikan di Riaumagz.com

Suku Iranun adalah penamaan lain dari Suku Irranon, Iranon, Illanun, Illanunu, Illanoan, Illanaon, Ilianon, Lanun, Illano, I-Lanaw-en yang menetap di daerah barat daya Pulau Mindanao di Filipina dan berkembang ke berbagai daerah lainnya termasuk di Kecamatan Sungai Batang dan Kecamatan Reteh di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Pulau Mindanao itu sendiri berada di daerah selatan dari negara Filipina. Perbedaan penyebutan suku ini baik oleh bangsa Inggris, Belanda, Spanyol, Portugis, China maupun dialek suku tersebut. Illanun itu sendiri pun menjadi nama bahasa yang digunakan suku tersebut, dimana bahasa Illanun adalah bahasa yang dipakai oleh suku Illanun sebagai bahasa bagian dari bahasa Astronesia (Malayo-Polynesian). Bahasa Illanun sangat berhubungan dan umumnya juga dipakai oleh suku Maranao maupun Maguindanao.

Suku Iranun sebagai salah satu suku Muslim di Provinsi Mindanao dan bagian dari etnis Sulu atau Bangsa Moro yang lebih banyak bermukim di daerah Nuling, Parang, Matanog, dan Barira. Mereka juga bermukim di daerah Iliana Bay Coast (Pantai Teluk Illana), bagian utara dari kuala atau muara Pulangi River. Selain itu juga di Sibugay Bay (Teluk Sibugay) di daerah Zamboanga del Sur serta wilayah utara Pulau Kalimantan yang umumnya pada wilayah Brunai dan Sabah Malaysia.

Illano dengan nama yang hampir sama adalah merupakan sebuah kota wilayah pesisir laut di Provinsi Otonomi Asturias, Spanyol bagian utara.
 
Menurut Merriam-Webster, kata Illanun dalam bahasa Maranao tersebut berasal dari “i” berarti “dari”, “lanaw” berarti “danau”, dan huruf “n” yang merupakan akhiran untuk menunjukkan orang atau bahasa. Illanun diartikan sebagai orang-orang Maranao dan Mindanao yang menetap di utara Kalimantan dan bagian barat daya dari Pulau Mindanao di Filipina. Penamaan suku tersebut berhubungan dengan terdapatnya sebuah danau yang bernama “Danau Lanao” di Pulau Mindanao. Selain itu terdapat Danau Buluan dan rawa-rawa Liguasan Marsh yang merupakan aliran Sungai Buluan (Sungai Mindanao). Dengan demikian Suku Iranun merupakan perpaduan Suku Maranao dan Suku Mindanao.
The Maranao people of northern Borneo and of the southwest coastal area of the island of Mindanao in the Philippines or a member of the Illanun people. The text of Maranao Ilanun is from i- (from) + lanaw (lake) + -n suffix denoting a people or language. This is means “people from lake” (Merriam-Webster Dictionary).
Menurut Joshua Project, sebuah lembaga penelitian dari Pasadena AS tentang agama, etnis dan kebudayaan, menyebutkan bahwa Illanunu (penamaan lain dari Suku Illanun) adalah sebuah suku kecil beragama Islam yang tinggal di pesisir Filipina dan sangat terhubung secara kebudayaan dan bahasa dengan Suku Maranao dan Maguindanao. Terkadang Illanun merupakan sejumlah orang-orang Maranao yang tinggal di tepian Danau Lanao (coast of Lanao del Sur). Terkadang Illanun merupakan sejumlah orang-orang Suku Maguindanao. Menelusuri sejarahnya, Suku Illanun, Suku Maranao, dan Suku Maguindanao adalah suku yang berasal dari etnis yang sama.
 
Dikutip dari James Francis Warren dari bukunya The Sulu Zone 1768-1898, menyebutkan bahwa Bangsa Inggris menamakan Illanun tanpa terkecuali terhadap semua orang yang dianggap sebagai “Bajak Laut dari Sulu” atau “Sulu Pirates”. Sedangkan Bangsa Belanda menganggap Illanun sebagai "ras yang keji", dan mengidentifikasi mereka sebagai orang-orang yang tinggal di pantai di selatan Mindanao, Sulu, dan beberapa tempat di pantai Kalimantan dan Sumatra. Secara umum kegiatan sehari-hari Iranun yang menguasai lautan dengan “prahus” (perahu, sampan, kapal) yang besar, peralatan lengkap, dan awak yang terlatih yang membuat mereka ditakuti di laut oleh para pedagang pribumi. Sulu atau Bangsa Moro (sebagian menyebutnya orang Moro) merupakan kelompok orang-orang yang tinggal di wilayah yang luas di selatan Filipina dan utara Pulau Kalimantan.
The English used illanun indiscriminately to denote simply "sulu pirates". The Dutch considered the Illanun a "vile race", identifying them as the shore dwelling people of the southern Mindanao, Sulu, and the several places on the coasts of Borneo and Sumatra. The widespread nature of Iranun activities and their larger, better equipped, and manned “prahus” made them such feared at sea by native traders.
 
The Illanoan Pirate (Tampassook, Borneo)
The Illanoan Pirate (Tampassook, Borneo)
F.M. Delf at London Longman, 1848.
 
Masih mengutip dari James Francis Warren dari bukunya The Sulu Zone 1768-1898 tersebut, khususnya pada Bab 7 Slave Raiding in Southeast Sea 1768-1830 “The Iranun, Lords of the Eastern Seas” (Perampasan Budak di Laut Tenggara 1768-1830 "Iranun, Penguasa Laut Timur"), dinyatakan bahwa dalam korespondensi para komandan kapal perang penguasa saat itu yang memburu mereka, yang dipublikasi dalam surat kabar kolonial, dan dalam karya-karya tulis lainnya, label penamaan Moros, Zeeroovers dan Illanun masih digunakan hingga akhir tahun 1862 untuk mengklasifikasikan berbagai kelompok orang atau masyarakat maritim yang asal etnisnya tidak selalu sesuai dengan bahasa dan afiliasi politik. Hanya Magindanao (Maguindanao), Maranao, dan Iranun yang disebut “Illanun” oleh etnis Taosug Jolo (Zolo, Zulu, Sulu, Suluk). Warren menggunakan kata “Slave Raiding” untuk melabeli Suku Iranun sebagai pemburu budak-budak (orang-orang kelas rendah) yang suka merampas. Dalam pengertian dunia militer diartikan sebagai penculikan orang untuk dijadikan budak dan diperdagangkan (Slave Raiding - Slave Trading).
In correspondence of the commanders of imperial gunboats who hunted them, in colonial gazettes, and in published works, the labels Moros, Zeeroovers and Illanun were still being used as late as 1862 to classify various maritime peoples whose ethnic origins did not always correpond to linguistic and political affiliation. Only Magindanao, Maranao, and Iranun were called “Illanun” by Taosug of Jolo.
 
Menurut Ensiklopedia Britannica, Taosug atau Tausug, juga dieja Tau Sug atau Tausog, atau juga disebut Joloano, Sulu, atau Suluk, adalah salah satu kelompok etnis Muslim terbesar (kadang disebut Moro) di selatan Filipina. Mereka hidup terutama di Kepulauan Sulu, barat daya pulau Mindanao, terutama di gugusan pulau Jolo. Pemimpinnya disebut “Datu”.
 
Hairiyadi dan Helmi Akmal (edt) dalam buku Lintasan Sejarah Maritim Kalimantan Selatan: (Awal Mula dan Perkembangannya sampai Masa Kerajaan) halaman 116 menuliskan bahwa Orang Lanun dan Balanini (Balangingi, red.) memberangkatkan angkatan laut beberapa ratus setiap tahun. Jung atau perahu yang kecil dan perahu dagang pribumi merupakan kebanggaan mereka. Mereka kadang-kadang menyerang kapal-kapal Eropa bahkan jung-jung Cina yang lebih besar. Sulu merupakan markas dagang mereka.

Ragam Suku Kesultanan Sulu

Di wilayah Kesultanan Sulu yang juga juga disebut sebagai Bangsa Moro, terdiri dari beragam suku yang tinggal di wilayah yang luas di selatan Filipina, yaitu :
  1. Méranao 
  2. Maguindanaon 
  3. Iranun 
  4. Yakan 
  5. Tausug 
  6. Sama 
  7. Badjao 
  8. Jama Mapun 
  9. Kagan / Kalagan 
  10. Kalibugan 
  11. Sangil 
  12. Molbog 
  13. Palawanon
 
Di wilayah tersebut terdapat penduduk atau suku asli yang lebih dahulu menetap di wilayah itu yaitu Téduray, Lambangian, dan Manobo Dulangan. Sedangkan penduduk pendatang dari suku Visaya, Tagalog, Chinese, dan suku lainnya.
 
Kehidupan sehari-hari mereka adalah nelayan, pemburu mutiara, tripang, sirip ikan hiu, sarang burung walet, dan hasil laut lainnya yang diperdagangkan dengan Inggris, China dan Amerika.
 
Wilayah Kesultanan Sulu

Wilayah Kesultanan Sulu
James Francis Warren - The Sulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Tranformation of a Southeast Asian Maritime State. (Second Edition). Halaman 103.

Sang Penguasa Laut Timur. Mempertahankan hak, menyerang penjajah.

Dalam peradaban dan kehidupan kelompok atau suku Illanun, mereka pernah banyak membantu pihak-pihak kerajaan lain dalam mempertahankan wilayah kekuasaan. Di mata Spanyol maupun Belanda dan juga Inggris serta Portugis, mereka dianggap dan diberi label sebagai suku pembajak atau perampas yang keji. Sedangkan di mata Suku Illanun, mereka merampas untuk mempertahankan hak-hak mereka dan orang-orang yang mereka bantu. Mereka memiliki kekuatan kapal perang yang sangat besar.
 
Selain ke arah utara Pulau Mindanao, pergerakan mereka di lautan mencakup wilayah yang luas ke arah selatan, mulai dari pesisir Pulau Kalimantan baik di timur maupun khususnya pesisir barat, Semenanjung Malaya, Pesisir Pulau Sumatra, Sulawesi, Ambon, Nusa Tenggara, Bali dan Jawa, bahkan sampai ke Papua New Guinea.
 
Untuk di Sumatra, Suku Iranun menyebar di Riau dan Jambi. Khususnya wilayah Riau, secara umum mereka menyebar di Siak, Lingga (sekarang Provinsi Kepulauan Riau), dan Indragiri Hilir. Pergerakan mereka ini digambarkan oleh Warren pada Bab II Patterns of Raiding 1768-1898 halaman 146. Dalam pergerakan mereka di lautan, Warren menjelaskan bahwa Suku Iranun bergerak bersama Suku Balangingi. Suku Balangingi menetap di Pulau Balangingi atau lebih disebut sebagai Balaninini atau Balanguingui atau Banguingui atau Tongkil, sebuah pulau kecil di selatan Pulau Mindanao.
 
Peta Jalur Suku Iranun dan Suku Balangingi dan Posisi Pelabuhan
Peta Jalur Suku Iranun dan Suku Balangingi dan Posisi Pelabuhan
James Francis Warren - The Sulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Tranformation of a Southeast Asian Maritime State. (Second Edition). Halaman 146.
 
Dalam catatan lain, khususnya oleh Hairiyadi dan Helmi Akmal (edt) dalam buku Lintasan Sejarah Maritim Kalimantan Selatan: (Awal Mula dan Perkembangannya sampai Masa Kerajaan) pada halaman 8, 9, dan 10 menuliskan lebih lengkap sebagai berikut :
NEGARA MARITIM NUSANTARA DAN PERANG LAUT
Perspektif sejarah maritim masa kerajaan di Nusantara dari abad ke-17 setidaknya sampai akhir abad ke-19 menggambarkan upaya untuk memelihara kedaulatan untuk mendukung melakukan pelayaran dan perdagangannya. Suatu wilayah yang menarik dan penting dikaji adalah Pesisir Timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Selat Malaka. Dalam periode yang dibicarakan ini wilayah kesultanan Riau-Johor menghadapi monopoli perdagangan VOC dalam persaingannya dengan EIC-Inggris. Peperangan laut yang hebat meletus pada tahun 1783-1784 antara Raja Haji versus VOC. Setelah gugurnya Raja Haji fi Sabilillah -diangkat sebagai pahlawan nasional- perlawanan rakyat Riau terhadap VOC tidak pernah surut. Bekerjasama dengan suku perompak Iranun dari Philipina selatan, Sultan Mahmud Riayat Syah melanjutkan perjuangan untuk membebaskan monopoli VOC dan untuk menegakkan (kembali) kedaulatan wilayah kesultanan Riau yang terpasung oleh kontrak 1785 yang mengakui kekuasaan VOC.
 
Ekspedisi serangan laut Iranun terutama ke arah barat mulai dari sepanjang pesisir Borneo dan wilayah pulau-pulau serta delta di pesisir timur Sumatera dari pusatnya di Jolo (Zulu), suku Iranun memiliki komunitas-komunitas satelit di Tempasuk dan Reteh. Secara sistematik Iranun menyerang Selat Melaka pada akhir abad ke-18. Iranun dilukiskan oleh Belanda sebagai marinir penyergap cepat (sea raiders) ketika armada berjumlah kecil menyerang kapal Belanda, seperti dilaporkan kejadian di Selat Bangka 1873.
 
Sultan Mahmud meminta bantuan Iranun dari Tempasuk daerah di bagian barat laut Borneo untuk mengusir Belanda dari Riau. Sultan Mahmud mengirim Talib ke Tempasuk membawa surat untuk Raja Tempasuk. Dalam bulan Mei 1787 dipimpin Raja Ismail, armada penyergap laut ini melintasi Laut Cina Selatan dalam jumlah besar perahu bersenjata dengan panjang kira-kira 30 meter, berhasil mengusir pasukan Belanda dari benteng.
 
VOC masih mendapat peluang dengan mendatangkan bantuan dari Melaka, menyebabkan Sultan Mahmud mengundurkan diri ke Lingga. Namun Iranun masih menguasai perairan Riau dengan strategi bergerilya di laut dengan memusatkan basis kekuatannya pada tahun 1790 di tiga tempat Riau dan Jambi: Pulau Berhala, Tungkal, dan Air Hitam. Tekad Iranun untuk melakukan eksploitasi dengan perahu dan aktivitas perdagangannya kemudian meluas sampai ke Laut Cina Selatan yang merupakan dunia kehidupan utama dengan membangun komunitas-komunitas pendukungnya (Warren, 2002:58-59).
 
Reteh menjadi tumpuan paling awal yang dibangun Iranun di bagian barat Nusantara, tepat sekali karena situasinya di pesisir Sumatera di sepanjang Selat Melaka di ujung jalan masuk Laut Cina Selatan. Daerah tanpa kehadiran negara ini kemudian menjadi wilayah pesisir yang dikuasai Iranun (Iranun coast). Jumlah besar pulau kecil di Selat Melaka kemudian menjadi rumah tempat generasi pertama tentara bayaran Iranun (mercenary) dan sebagai penduduk perintis (Warren, 2002:138).
 

Sejarah Suku Iranun di Indragiri Hilir, Provinsi Riau.

Penyebaran Suku Iranun terbesar di Riau berada di wilayah Indragiri Hilir yaitu pada wilayah Desa Kuala Patah Parang, Desa Kuala Sungai Batang, Desa Benteng di wilayah Kecamatan Sungai Batang maupun juga di wilayah Kecamatan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Penggunaan nama desa "Parang" dapat saja merupakan pengingat tempat asal usul mereka yang bernama Parang di Pulau Mindanao, tepatnya di Teluk Illana.
 
Menurut Arbain Maguindanao yang merupakan keturunan keenam Suku Iranun di Riau, menyatakan bahwa orang-orang Suku Iranun lebih menyebut dirinya sebagai orang-orang Melayu Timur, yaitu orang-orang Melayu yang berasal dari Timur. Arbain juga menjelaskan bahwa Iranun merupakan perpaduan dua suku Muslim di Pulau Mindanao yaitu Maguindanao dan Marawi (Maranao).
 
Mereka bergerak dari wilayah Sulu di Filipina ke Brunai untuk membantu Kesultanan Brunai, balik ke utara ke arah Tempasuk di Sabah Malaysia, lalu mengarah ke Pontianak. Menurut Warren, pergerakan Suku Illanun jauh ke arah selatan Mindanao bersama-sama Suku Balangingi.
 
Suku Iranun di Riau merupakan penyebaran Suku Iranun yang membantu kesultanan di Brunai. Bantuan Suku Iranun tersebut diganjar dengan hadiah wilayah Tempasuk Sabah di utara Brunai yang sekarang berada dalam wilayah Malaysia, yang letaknya di utara Pulau Kalimantan. Dari Tempasuk, Suku Iranun menuju ke Pontianak arah barat daya Pulau Kalimantan, lalu membantu Kesultanan Lingga yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau saat ini. Kemudian mereka menetap di wilayah pesisir Pulau Sumatra, yaitu Reteh.
 
Di Reteh, Suku Iranun membantu Tengku Sulung dari serbuan Belanda dengan mempertahankan sebuah benteng yang berada di Kuala Sungai Batang. Wilayah ini lebih dikenal sebagi Bumi Tengku Sulung. Walaupun sempat kalah dari serbuan Belanda, para pejuang Reteh tidak berhenti untuk terus mempertahankan wilayahnya. Hal ini dilukiskan oleh G. Goossens dalam sebuah lukisan cat minyak tentang kemenangan Belanda merebut Benteng Reteh pada 7 November 1858.
 
penyerbuan Benteng Reteh inhil
Benteng Reteh
Foto lukisan cat minyak oleh G. Goossens di Tropenmuseum
De vesting (benting) werd op 7 November 1858 onder leiding van Luitenant ter zee 1e klasse K. Bunnik ingenomen 
 

Perahu Suku Iranun dan Suku Balangingi

Dalam pergerakan Suku Iranun di lautan yang disebut sebagai The Lords of East Sea atau Sang Penguasa Laut Timur, mereka menggunakan beragam jenis perahu. Termasuk beragam jenis perahu yang digunakan oleh Suku Balangingi yang turut serta dalam pergerakan di lautan tersebut.
 
Perahu Penjajap (Kajang Lake yang lebih kecil di sebelah kiri)
Perahu Penjajap (Kajang Lake yang lebih kecil di sebelah kiri)
Sketsa Amiral E. Paris (François-Edmond Pâris)
Detroit_de_Malacca : Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens 
 
Menurut Arbain, Suku Iranun juga menggunakan Perahu Kajang Lake (Lake dibaca dengan e pepet atau e lemah), orang Jambi menyebutnya Kajang Lako, dalam pergerakan ini yang mirip dengan perahu penjajap. Perahu dengan penutup atap dari Kajang dengan tiang atap setinggi kurang lebih sejengkal, dilengkapi pendayung di belakang dan sebuah layar kecil di depan. Ukurannya lebih kecil, cepat, dan lebih memudahkan dalam pergerakan di lautan. Perahu ini lebih kecil dari Kapal Lanong. Suku Illanun sampai di Reteh terdiri dari 40 perahu dengan berbagai kelengkapan perahu baik pemimpin (Datu atau Datuk), prajurit, keluarga, Kelintang dan pemusik genderang perang, serta kelengkapan lainnya.
 
Perahu Balanghai atau Kajang Lake

Perahu Balanghai atau Kajang Lake
Marinebuzz : Filipinos Set Sailina Balangay
Ray A. Santiago for National Museum
 
Menurut Warren, Suku Iranun menggunakan Prahu Joanga atau Lanong yang merupakan kapal berukuran 80 feet dan lebar 20 feet. Lanong atau Joanga dibuat untuk pelayaran panjang dan armada inilah yang memimpin kapal-kapal atau perahu-perahu lainnya untuk menyerbu wilayah selat dan lautan di bawah kepemimpinan Iranun dari Tempasuk dan Reteh (Warren, hal. 44). Dalam teks lain menyebutnya sebagai Parao Pirata atau Prahu Pirates yang diartikan sebagai Perahu Bajak Laut.
 
Kapal Lanong atau Joanga Suku Iranun

Kapal Lanong atau Joanga Suku Iranun
James Francis Warren - The Sulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Tranformation of a Southeast Asian Maritime State. (Second Edition). Halaman 46.
 
Sedangkan Suku Balangingi menggunakan Perahu Garay yang dibangun dari kayu, bambu, nipa dan rotan. Ukuran garay (galley) terbesar adalah panjangnya 80 kaki, dan lebar balok adalah 20 kaki dengan tingkat proyeksi satu kaki di sepanjang sisinya. Selain itu mereka juga menggunakan jenis Perahu Salisipan yang lebih ramping.
 
Mengenai alat musik Kelintang yang dibawa Suku Iranun sebagai alat musik perang ke Indragiri Hilir akan ditulis terpisah.

Sumber :
  1. James Francis Warren. The Sulu Zone, 1768-1898: The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Tranformation of a Southeast Asian Maritime State. (Second Edition). NUS Press. Singapore. First Edition 1981, Second Edition 2007.
  2. Wawancara Arbain Maguindanao dengan Tim Dokumentasi Warisan Budaya TakBenda Dinas Kebudayaan Provinsi Riau.
  3. Hairiyadi dan Helmi Akmal (edt). Lintasan Sejarah Maritim Kalimantan Selatan: (Awal Mula dan Perkembangannya sampai Masa Kerajaan), Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2020.
  4. Bangsa Moro Commission for the Preservation of Culture Heritage (Bangsa Moro Autonomous Region in Muslim Mindanao). https://bch.bangsamoro.gov.ph/bangsamoro-cultural-heritage/bangsamoro-tribes-muslim/iranun/
  5. Joshua Project. https://joshuaproject.net/people_groups/12209/RP 
  6. Merriam-Webster Dictionaries Incorporated. Springfield, Massachusetts. America. 2002.
  7. Wikipedia https://en.wikipedia.org/wiki/Iranun_people 
 
Sumber Foto :
  1. Sketsa The Illanoan Pirate (Tampassook, Borneo), F.M. Delf at London Longman, 1848.
  2. Foto lukisan cat minyak oleh G. Goossens. De vesting (benting) werd op 7 November 1858 onder leiding van Luitenant ter zee 1e klasse K. Bunnik ingenomen. Benteng (benting) direbut pada tanggal 7 November 1858 di bawah komando Letnan Komandan Kelas 1 K. Bunnik. Pengelola/Pemilik Lukisan : Tropenmuseum, part of the National Museum of World Cultures, berdasarkan donasi pada tanggal 25 September 1945. https://collectie.wereldculturen.nl/?query=search=*=TM-1664-1#/query/8bfae986-2feb-45b2-86ca-586667cf39e1
  3. Perahu Penjajap atau Kajang Lake Sketsa Amiral E. Paris (François-Edmond Pâris) Detroit_de_Malacca : Essai sur la construction navale des peuples extra-europeens
  4. https://en.wikipedia.org/wiki/Penjajap#/media/File:Detroit_de_Malacca_Amiral_E_Paris_Pindjajap.jpg
 
Cari dan baca juga buku berjudul :
Iranun: Sejarah Dan Adat Tradisi
Penulis : Bandira Datu Alang
Penerbit : Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia Tahun : 1992.