Bermain Ombak Bono Pelalawan
BERMAIN BONO ATAU HANCUR
(sebuah catatan kaki sosial budaya)
Reupload 03/03/2013
Pada tanggal 29 Januari lalu saya berkesempatan untuk ikut dalam kegiatan Mini Fest Bono yang diadakan oleh Rumah Budaya Siku Keluang. Sebuah kegiatan mendekatkan kembali kegiatan seni budaya kepada masyarakat di kampung Teluk Meranti. Ada berbagai kegiatan yang diadakan selama kegiatan mini festival tersebut yang berlangsung dari tanggl 26 – 30 Januari. Sayang saya tidak dapat mengikuti dari awal.
Kegiatan ini melibatkan semua tingkatan usia yang ada di kampung tersebut. Mulai dari anak-anak SD, hingga remaja dan para orang tua serta pemuka masyarakat. Dalam festival ini saya diberi kesempatan oleh pihak Siku Keluang, berinteraksi dengan masyarkat untuk bertukar informasi, pengalaman serta saling belajar mengenai pusaka.
Kegiatan informal dan santai dengan beberapa bapak-bapak dan ibu-bu di tepi sungai Kampar di bawah rindangnya pepohonan beralaskan terpal biru pun berlangsung hangat walau awalnya tetap dianggap sebuah kegiatan yang aneh. Hehehehe
Dari hasil diskusi singkat ini banyak sekali hal baru yang saya pelajari dari masyarkat Teluk Meranti. Kembali menyadarkan saya betapa kayanya negeri ini dengan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang kadang dianggap tidak bersahabat bagi orang lain. Benar-benar merubah penilaian dan persepsi saya selama ini tentang hubungan masyarakat Teluk Meranti dengan Bono.
Ya Bono, gelombang besar yang muncul di sungai Kampar akibat pertemuan arus balik dari Sungai dengan arus pasang dari laut, menimbulkan ombak besar yang menghasilkan begitu banyak cerita cerita rakyat, legenda bahkan catatan sejarah masa penjajahan di kawasan ini.
Sebelumnya saya beranggap kegiatan berselancar yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah kegiatan sekedar untuk bersuka ria, menunjukkan keberanian para pemuda/i terhadap fenomena yang rutin terjadi. Sikap menunjukkan nyali besar terhadap sesuatu yang sangat menakutkan. Ternyata saya salah besar. Kegiatan bermain bono awalnya lebih dari sekedar permainan uji nyali atau menunjukkan kemampuan menaklukkan kekuatan alam. Tetapi lebih sebagai tuntutan dan perjuangan untuk mempertahankan harta benda, terutamanya berbentuk perahu atau kapal.
Kegiatan menunggang bono menjadi harus, karena hempasan ombak ke tepi sungai sangat kuat dan dapat menghancurkan sampan dan kapal yang ditambatkan di tepi sungai. Itulah kenapa setiap bono datang, semua pemilik perahu akan bersiap untuk menyambut dan bermain bono, hingga gelombang terakhir surut dan permukaan sungai kembali tenang.
Saat ini memang bono sudah tidak lagi sebesar dan setinggi satu dekade lalu. Sehingga beberapa rumah terlihat dapat bertapak di tepi sungai. Pada masanya hal ini tidak mungkin dilakukan. Sebagai gambaran kekuatan tenaga yang dihasilkan oleh gelombang bono, masyarakat setempat memiliki istilah sendiri. Jika terdengar suara gelombong bono, maka untuk mencapai posisi kita pertama mendengar suara itu diperkirakan sepenanakan nasi. Setelah selesai menanak nasi dan beberapa lauk, barulah bono akan sampai ke tempat kita.
Jika dikonversi ke satuan jam, maka lebih kurang sekitar satu hingga satu setengah jam. Bisa kita bayangkan bagaimana besarnya tenaga yang dihasilkan oleh bono. Selain suara yang menggelegar, tanahpun akan bergetar ketika bono lewat.
Ternyata ada hal lain lagi yang menjadikan bono adalah sahabat masyarakat alih-alih sebagai hal yang menakutkan. Setiap terjadi bono, maka akan terjadi banjir setinggi 30-40 cm ke tepian sungai. Paling tidak ada empat hal yang saya lihat dan diceritakan oleh masyarakat. Pertama ketinggian bangunan dari tanah. Rata-rata bangunan di kampung ini adalah rumah panggung yang tidak terlalu tinggi. Menunjukkan batas genangan banjir yang diakibatkan bono tidak sampai satu meter. Artinya bangunan memang ditinggikan sekedar untuk mengantisipasi banjir bono. Dan bagian kolong rumah tidak pernah digunakan sebagai tempat menyimpan barang.
Yang kedua, setiap bono, artinya pesta menangkap ikan. Baik dengan pancing maupun jala. Masyarakat rata-rata berkumpul di parit-parit yang terhubung langsung dengan sungai Kampar. Cukup dengan menebar jaring, maka ikan dengan sendirinya terdorong ke dalam jala. Bahkan efek banjir bono ini masih dapat dirasakan oleh penduduk yang tinggal sekitar 400-500 meter dari tepian sungai. Terbukti ketika kami sampai kampung Teluk Meranti ini, jalan yang kami lalui berubah menjadi sungai kecil yang cukup membuat berdebar ketika melewatinya. Ini dikarenakan kami tiba tak lama selepas bono lewat di hari itu.
Yang lebih gila lagi, apa yang saya lihat dan sebut sebagai pesta menangkap ikan, belum ada apa-apanya dibanding 20-30 tahun lalu, ketika hutan masih terpelihara dan tidak ada limbah yang merusak sungai. Setiap habis bono, ikan-ikan tinggal dipungut dari tanah. Tidak perlu jala ataupun pancing. Gimana saya gak bilang.... wow trus guling-guling, hehehehe minjem istilah bg attayaya nih.
Hal ketiga yang sayangnya sudah tidak dapat dilihat lagi, adalah kaitan terjadinya banjir bono dengan kegiatan berladang padi. Ya, di kawasan ini padi ditanam di lahan kering tidak seperti umumnya kegiatan bersawah. Sehingga menanam sawah pun lebih populer dengan sebutan berladang.
Waktu terjadinya bono akan dijadikan patokan hitung mundur untuk waktu memulai menanam padi di ladang. Yang diperkirakan adalah ketinggian padi saat bono datang. Sehingga ketika terjadi bono, seluruh batang padi akan terendam. Dan ketika banjir bono kembali surut, air akan membasuh dan membawa semua hama yang ada pada batang padi. Sistem yang ramah lingkungan. Tanpa pestisida seratus persen. Wow guling-guling lagi deh.
Tetapi sayang kearifan lokal yang sangat tinggi nilainya ini sudah tidak dapat dilihat lagi karena hutan telah dirusak secara sistemis. Bahkan tidak menutup kemungkinan suatu saat kita tidak dapat lagi melihat bono. Masyarakat tidak dapat atau tidak perlu lagi bermain bono. Karena bono telah mati.
Jika bono mati maka mati pula keunikan keempat yang saya lihat di sana. Berselancar menggunakan papan pulai. Ya papan pulai. Bukan papan fiber yang seperti yang sering muncul di layar televisi. Tetapi papan yang terbuat dari bilah pohon pulai. Pohon yang memiliki sifat sangat ringan dan dapat mengambang di atas air, telah digunakan sejak lama oleh masyarkat setempat sebagai papan seluncur.
Satu lagi warisan budaya berupa kreatifitas manusia Melayu yang hanya dapat dilihat dan ditemukan di kampung ini. Masih kah semua ini dapat kita lihat 20 atau 30 tahun lagi? Atau hanya dalam satu dekade semua ini hanya tinggal cerita ? Banyak tugas rumah yang tersisa sepulangnya saya dari Teluk Meranti. Dan tugas paling berat adalah memperbaiki kembali kondisi hutan alam yang telah begitu rusak dan binasa.
Penulis: Dedi Ariandi