Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SULTAN ABDUL JALIL ALAMUDDIN SYAH

Jembatan Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah
(Jembatan Siak IV Kota Pekanbaru)
Pict by @Zuchrinst @PilotDroneRiau


SULTAN ABDUL JALIL ALAMUDDIN SYAH
PENDIRI KOTA PEKANBARU
TAHUN 1766 - 1782
SULTAN IV KERAJAAN SIAK


RiauMagz.com - Sultan Alamuddin Syah adalah putera sulung Yang Dipertuan Raja Kecik gelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah pendiri Kerajaan Siak Pertama tahun 1723 di Kota Buantan, di pinggir Sungai Jantan (Sungai Siak). Ibunda baginda adalah puteri Dipati Batu Kucing Musi Rawas Pelembang dan Isteri baginda bernama Daeng Khalijah, puteri Daeng Perani.

Setelah mangkatnya Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah tahun 1764, dinobatkan Tengku Buwang Asmara, putera kedua Raja Kecik dengan isterinya Tengku Kamariah, puteri Sultan Abdul Jalil Riayat Syah Sultan Johor IV, sedangkan baginda diangkat sebagai Raja Muda.
Penobatan ini tidak dapat dipahami oleh Raja Alamuddin, sehingga Raja Alamuddin meninggalkan Negeri Siak, pergi ke Selat Melaka dan Laut Cina Selatan menjadi penguasa laut dan merampas kapal lanun dan kapal-kapal Belanda dan Inggris. Pedagang-pedagang yang melintas di Selat Melaka dan Laut Cina Selatan juga sering menjadi sasaran rampokan dari Raja Alam.

Kemudian Raja Alam meneruskan perjalanannya ke Siantan dengan membawa pengikut yang dihimpunnya, berjumlah 500 orang, yang terdiri dari berbagai bangsa dan Suku. Dalam catatan Netseher disebutkan bahwa mereka merupakan pengembara yang mempunyai kapal-kapal dan hasil rampokan dan dibawa ke Borneo (Kalimantan Barat). Kemudian bersama dengan pengikutnya, Raja Alam menetap di Pulau Siantan dengan mendapat bantuan dari Daeng Kamboja; karena Raja Alam adalah menantu Daeng Perani.

Raja Alam mempunyai kapal-kapal perang besar dan kecil dari hasil rampasannya sehingga Kompeni Belanda ketakutan, karena Raja Alam dan pengikutnya dapat menghadang perdagangan di lalu lintas Selat Melaka dan Laut Cina Selatan.

Kompeni Belanda membuat politik pecah belah dengan membujuk dan membantu Raja Alam kembali ke Siak untuk mengambil Tahta Kerajaan Siak yang dipimpin oleh Tengku Buwang Asmara, adiknya yang telah membuat malu Gubernur Belanda di Melaka karena menghancurkan Loji Belanda dan membunuh pimpinan dan semua serdadu Belanda yang berada di Pulau Guntung Kuala Siak.

Bantuan Belanda dapat diterima oleh Raja Alam dengan syarat Belanda tidak boleh mencampuri masalah keluarga Kerajaan Siak dan Belanda dapat membangun Lojinya kembali menurut aturan Kerajaan Siak. Sehingga akhirnya terjadilah perang saudara antara adik beradik.

Perang saudara ini terjadi karena Raja Alam dihasut oleh Belanda untuk melaksanakan politik pecah belah Belanda dengan maksud dapat mengatur Raja Alam sehingga Belanda dengan bebas dapat menguasai wilayah Kerajaan Siak.

Pepatah orang Melayu mengatakan, bahwa yang bersaudara itu ibarat Air Tak Putus dicencang. Dalam keadaan perang saudara, Tengku Buwang Asmara menyampaikan pesan dan wasiat dari ayahandanya, Raja Kecik; “ Seandainya apabila kakandamu Raja Alam kembali ke Negeri Siak, bahwa dia ingin memegang tampuk pimpinan Kerajaan Siak ini, serahkanlah Tahta Kerajaan Siak ini kepadanya karena dia saudara sulung yang berhak juga menjadi Raja di Kerajaan Siak“.

Wasiat ini disampaikan kepada Tengku Ismail, Raja Muda Kerajaan, yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Siak ke III tahun 1760 – 1766. Tengku Ismail adalah putera kandung Tengku Buwang Asmara, sedangkan Tengku Muhamad Ali adalah putera Raja Alam yang bertugas sebagai Panglima Perang Kerajaan Siak di bawah pimpinan Sultan Tengku Buwang Asmara ( 1746-1760 ).

Perang saudara usai, Tengku Buwang Asmara mangkat dilanjutkan oleh Tengku Ismail Sultan Siak III . Pada tahun 1766 Raja Alam dinobatkan oleh Datuk Empat Suku Dewan Kerajaan Siak menjadi Sultan Kerajaan Siak IV dengan Gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah dengan Permaisuri Daeng Khalijah.

Setelah Sultan Alamuddin Syah bertahta di Kerajaan Siak di Koto Mempura, pada tahun 1766 baginda memindahkan Pusat Kerajaan Siak ke hulu Sungai Jantan ( Sungai Siak) ke Negeri Batin Senapelan, melalui persetujuan sidang Dewan Kerajaan Siak “ Datuk Empat Suku “.

Berpindahnya Pusat Kerajaan Siak ke negeri Senapelan di Hulu Sungai Siak ini, dikarenakan Sultan Alamuddin Syah sangat benci kepada Kolonial Belanda yang mau merampas Negeri Kerajaan Melayu di Selat Melaka dan mempergunakan politik pecah belah di antara Kerajaan Melayu di pesisir pantai Timur Pulau Sumatera. Sultan Alamuddin Syah juga tidak mau membayar hutang perang kepada Belanda yang merupakan janji Alamuddin jika dapat menjadi Sultan Siak.

Dalam rangka membangun negeri Senapelan yang merupakan Pusat Kerajaan Siak, baginda memindahkan pelabuhan dagang di Tapung Kiri dan Tapung Kanan ke Negeri Senapelan untuk lancarnya arus perdagangan yang membawa hasil bumi seperti lada, emas, gambir, hasil hutan dan hewan untuk dibawa ke Melaka dan Singapura.

Untuk mengadakan hubungan ke negeri Minangkabau dan daerah Kuantan melalui Tratak Buluh Cina dan Kampar, baginda membuat rintisan jalan darat dengan mempergunakan Pedati yang ditarik oleh kerbau dan kuda, serta membuat jalan di negeri Senapelan yang dikenal sebagai Padang Terubuk, Padang Bulan, Kampung Dalam, Pintu Angin dan Kampung Sukma Hilang dan lain lain, serta membangun perladangan rakyat yang disebut Kampung Payung Sekaki di Pantai Cermin.

Dalam usaha untuk menentang Kolonial Belanda, baginda berusaha menyatukan Raja-Raja Melayu di pesisir pantai Timur Pulau Andalas (Sumatera). Sultan Alamuddin Syah mempersiapkan angkatan perang untuk menyatukan Raja-Raja Melayu yang telah menganut agama Islam dan menyebarkan dakwah Islam kepada wilayah Melayu yang belum menganut agama Islam. Angkatan perang tersebut dipimpin oleh Panglima Kerajaan Siak Tuan Sayid Usman Sahabuddin yang memiliki garis keturunan langsung Nabi Muhammad SAW (lihat Sejarah Kerajaan Siak 1977 hal 10.). Kemudian Tuan Said Usman dinikahkan dengan puteri Sultan Alamuddin Syah bernama Tengku Embung Badariah dengan mas kawin seraga mata bajak laut. Hal ini dapat dipenuhi oleh Said Usman.

Di dalam tugas mengembangkan agama Islam di Badagai Batu Bara, Sayid Usman wafat dan jenazah Almahum dibawa pulang ke Senapelan Kerajaan Siak dan dimakamkan di Kampung Bukit di Mesjid Raya Sultan.

Pada tahun 1780 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah mangkat di Negeri Senapelan di Kampung Bukit dan diberi Gelar Marhum Bukit. Masyarakat banyak yang bertanya, apakah gelar Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah? Sudah dapat dijawab sekaranng bahwa Gelar Marhum Bukit-lah yang disandang beliau. Untuk melanjutkan Kerajaan Siak, maka dinobatkan oleh Dewan Kerajaan Datuk Empat Suku puteranya Tengku Muhammad Ali menjadi Sultan Siak V tahun 1780 - 1782 dengan Gelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazam Syah. Baginda tidak lama memerintah karena sudah tua, pada masa mudanya beliau merupakan seorang Panglima Perang yang Perkasa, hidup dalam perang melawan Belanda, Inggris, dan bajak laut di Selat Melaka.

Sultan Muhammad Ali pada masa pemerintahannya melanjutkan rencana ayahandanya Sultan Alamuddin Syah membenahi jalan raya di Senapelan dan ke arah Kampar, Pangkalan Koto Baru, Payakumbuh Minangkabau dan ke arah Teratak Buluh ke Kuantan Singingi. Maka jalan yang bersimpang Tiga ini diberi nama Kampung Simpang Tiga. Oleh karena selama dua tahun ini baginda memerintah negeri Senapelan, maka Senapelan akhirnya diberi nama Pekan-baharu; dimana kota ini merupakan pusat perdagangan untuk mengekspor barang dagangan dari pulau Sumatera ke luar Negeri.

Pada tahun 1782 Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazam Syah mangkat dan diberi gelar “ Marhum Pekan “. Kemudian dinobatkan Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah tahun 1782-1784 putera Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah Sultan Siak III. Dalam masa pemerintahan Sultan Yahya, Pusat Kerajaan Siak dipindahkan kembali dari Koto Pekan Baharu ke Koto Mempura.

Syarif Ali, putera Sayid Usman Sahabuddin yang merupakan Panglima Perang Kerajaan Siak melakukan kudeta tidak berdarah kepada Sultan Yahya Abdul Jalil Muzaffar Syah, yang tak lain merupakan bapak saudaranya, sehingga Sultan Yahya pergi mengundurkan diri ke Terangganu dan pada tahun 1784 mangkat di Dungun, Kerajaan Terengganu Malaysia.

Syarif Ali bukan merupakan keturunan langsung dari garis keturunan Melayu karena beliau anak Sayid Usman Sahabuddin dari keturunan Arab dan Ibundanya adalah puteri dari Sultan Alamuddin Syah keturunan Melayu. Namun, oleh karena beliau cerdas dan ahli dalam berperang dan sedang memegang jabatan sebagai Panglima Perang Kerajaan Siak maka dengan kekuatan politik dan kekuasaan beliau diangkat dan dinobatkan sebagai Sultan VII tahun 1784 – 1710 oleh Dewan Kerajaan Datuk Empat Suku menjadi Sultan Kerajaan Siak VII dengan memakai Gelar “ Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin”.

Setelah Syarif Ali dinobatkan menjadi Sultan VII, baginda memindahkan Pusat Kerajaan Siak ke seberang sungai Siak yang diberi nama Kota “Siak Sri Indrapura“ . Selama baginda memerintah di Kerajaan Siak dari tahun 1784 -1810 melanjutkan cita cita Atuknya Sultan Alamuddin Syah untuk menyatukan Kerajaan Melayu dan Raja-Rajanya di pesisir Pantai Timur Pulau Sumatera dan memperkuat Angkatan Perang Kerajaan Siak dengan mendatangkan para pelatih perang yang diambil dari Turki.

Di Kota Siak Sri Indrapura Sultan Syarif Ali membuat benteng-benteng pertahan di dalam kota Siak serta membuat benteng di seberang Kota Siak dari Sungai Paluh dan sungai Tonggak, kemudian menjadi Kampung Benteng.

Sultan Assaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin dengan semangat juang perkasa dapat memperluas kerajaan Siak yang disebut dalam sejarah “Jajahan 12 “ yaitu:
Kota Pinang, Asahan, Kualuh, Bilah, Panai, Deli, Langkat, Badagai Batu Bara, Serdang, Pelalawan, Temiang, Sambas Kalimatan Barat.

Pekanbaru, 25 Januari 2019,
Penulis,

Drs. Dt . H. O.K. Nizami Jamil.

Teks ini beredar di Whatsapp Grup

Nama SULTAN ABDUL JALIL ALAMUDDIN SYAH telah resmi dipakai pada nama Jembatan Siak IV Kota Pekanbaru yang berada di ujung Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru.

RiauMagz, Wisata Riau, Jembatan Kota Pekanbaru