Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hang Tuah Hikayat Ksatria Melayu - Bagian 2

Hang Tuah Hikayat Ksatria Melayu - Bagian 2
Hang Tuah


HIKAYAT HANG TUAH KSATRIA MELAYU Bagian Kedua
Oleh :
MOSTHAMIR THALIB
MAHYUDIN AL MUDRA

Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
Adicita Karya Nusa
Yogyakarta
Edisi Pertama, 2004


HIKAYAT HANG TUAH KSATRIA MELAYU – Bagian Kedua


Beberapa tahun kemudian...

Kerajaan Melaka yang aman dan tenteram tiba-tiba bergalau. Bukan disebabkan oleh orang-orang yang mengamuk atau diserang musuh, tapi oleh fitnah. Berkembang kabar tentang Hang Tuah, kesatria muda perisai Kerajaan Melaka, penasihat pribadi kesayangan Raja Melaka, telah berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana.

Ketika fitnah itu semakin menyebar, Patih Kerma Wijaya bersama beberapa pengikutnya datang menghadap Baginda Raja. Di hadapan Baginda Raja, fitnah itu diceritakan secara rinci. Penjelasan Patih Kerma Wijaya dikuatkan pula oleh para pengikutnya.

Mendapat laporan itu, Baginda Raja sangat marah dan memanggil Bendahara Paduka Raja. “Hai, Bendahara. Usir si Tuah celaka itu! Dia sudah berbuat tidak sopan di dalam negeri ini!” perintah Baginda Raja dengan geram.

Bendahara Paduka Raja terkejut melihat kemurkaan Baginda Raja yang demikian hebat, hingga membuatnya tidak berani menanyakan tentang kesalahan yang telah dilakukan Hang Tuah Sang Laksamana yang kebal dan sakti

Bendahara Paduka Raja lalu menemui Tuah Sang Laksamana. Dia menceritakan kemarahan dan kehendak Raja mengusir Tuah Sang Laksamana Yang Kebal. “Karena perintah Raja, aku tak dapat menolongmu, Anakku,” jelas Bendahara sedih.

Mendengar bahwa dirinya diusir, dengan tenang Tuah menghunus keris dan menyerahkannya kepada Bendahara Paduka Raja sambil berkata, “Si Tuah ini tak akan bertuan lebih dari satu dan tak mau menantang rajanya. Laksanakanlah Datuk, apa yang Baginda Raja perintahkan terhadap saya!”

“Dengarlah Laksamana! Aku sangat berat melaksanakan perintah Baginda Raja. Sekarang, yang penting tinggalkan Melaka dulu, sebab Baginda Raja sedang murka kepadamu," kata Bendahara Paduka Raja dengan sedih. Mendengar jawaban Bendahara Paduka Raja, terpikir oleh Tuah untuk merantau ke lndrapura dan minta perlindungan dari Bendahara Seri Buana, Raja lndrapura. Setelah berpamitan ke Bendahara Paduka Raja, Tuah kemudian pergi berlayar ke lndrapura.

Setibanya di Indrapura, Hang Tuah disambut dengan suka cita oleh Bendahara Seri Buana. Tuah diizinkan tinggal di sebuah rumah milik kerajaan Kampung Bendahara.

Sebulan berlalu, Tuah Sang Laksamana mulai betah tinggal di lndrapura. la semakin mengenal orang-orang yang tinggal di Kampung Bendahara.

Suatu hari, saat duduk di depan rumahnya, Tuah Sanga Laksamana melihat seorang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja, melintas di hadapannya. Tuah pun segera mencari tahu rumah Dang Ratna dari tetangganya. Setelah tahu, Tuah lalu pergi ke rumah Dang Ratna. Ketika bertemu Dang Ratna, Hang Tuah berkata, “Hai, Ibu! Ibu saya Iihat serupa betul dengan ibu saya di Melaka,” ujar Tuah Sanga Laksamana kepada Dang Ratna dengan memelas. Dang Ratna terheran-heran melihat Tuah Yang Kebal tiba-tiba menangis.

“Oh, Anak Muda! Tak usahlah bersedih hati. Anggap saja ibu ini sebagai ibumu sendiri. Ibu sudah tua dan juga tak punya anak,”jawab Dang Ratna.

Hari itu juga, Tuah Sanga Laksamana menjadi anak angkat Dang Ratna. Bukan main gembiranya Dang Ratna mendapat anak angkat yang gagah dan perkasa. Karena sangat gembira, Dang Ratna kemudian menceritakannya kepada para dayang Tun Teja, hingga terdengar pula oleh Tun Teja.

Dari hari ke hari, Dang Ratna makin sayang pada si Tuah, melebihi dirinya sendiri. Hang Tuah pun tahu inang tua itu sangat sayang kepadanya. Pada suatu hari. ia mengajukan permintaan kepada ibu angkatnya itu.

“Jika ibu memang sayang kepada saya, katakan pada Tun Teja mohon supaya dia berkenan menerima saya sebagai orang yang mengasihinya…”

Dang Ratna sangat terkejut mendengar permintaan itu. Ia mengeluh tidak berani menyampaikan permintaan seperti itu kepada tuan putrinya. Tetap Tuah terus mendesak, hingga akhirnya Dang Ratna tidak blsa Iagi menolak.

Keesokan harinya, Dang Ratna pergi menemui Tun Teja. Namun hari itu Dang Ratna belum berani menyampaikan keinginan Hang Tuah. Baru pada hari berikutnya Dang Ratna memberanikan diri bicara, saat menemani Tun Teja di taman. Dengan gugup, Dang Ratna mengutarakan rasa hati Tuah Sang Laksamana.

Mendengar perkataan Dang Ratna, Tun Teja marah. “Raja Melaka saja aku tolak. apalagi hambanya!” serunya dengan muka merah padam.

Tun Teja lalu memerintahkan dayang-dayang untuk menghukum Dang Ratna. lnang tua itu digosok mukanya dungan sabut kelapa. Akibat hukuman itu, Dang Ratna pulang ke rumahnya dengan muka terluka. Ketika Dang Ratna sampai di rumah, Tuah Sang Laksamana terkejut melihat ibu angkatnya terluka. Setelah mendengar cerita ibunya, Hang Tuah tergerak hatinya untuk menyadarkanTun Teja.

Malam harinya Hang Tuah berdoa. agar Tun Teja disadarkan atas perbuatannya yang tidak pantas kepada Dang Ratna. Pagi harinya, ia pergi ke rumah Dang Ratna dan meminta agar ibu angkatnya itu datang kepada Tun Teja untuk mendoakan yang sama.

Dang Ratna yang semula ragu-ragu akhirnya mau juga pergi. Ketika sampai di istana, Dang Ratna melihat Tun Teja tengah tidur-tiduran. Dengan diam-diam, Dang Ratna menghampiri Tun Teja lalu berdoa dengan khusyu Segera setelah selasai berdoa, Dang Ratna pergi. Sesaat kemudian, Tun Teja bagai terbangun dari mimpi. Tiba-tiba, ia merindukan Dang Ratna dan Hang Tuah. Ia bangun dan menyuruh dayang-dayang memanggil Dang Ratna.

Mendapat perintah Tun Teja, dua orang dayang segera mengejar Dang Ratna. Karena takut, Dang Ratna malah berlari. Akhirnya, kedua dayang itu berhasil membujuk Dang Ratna untuk menghadap Tun Teja.

“Jangan takut! Saya hendak menanyakan tentang si Tuah. Di mana dia sekarang?” tanya Tun Teja kepada Dang Ratna yang ketakutan.

“Ampunkan saya, Tuan Putri! Setelah Tuan Putri menolak keinginannya, katanya dia hendak kembali ke Melaka.”

Tiba-tiba Tun Teja merasa sangat sedih. Matanya berlinang. “Tolonglah saya. Bawalah dia ke rumah Mak Inang!" pinta Tun Teja pada Dang Ratna.

Setelah berpamitan, Dang Ratna lalu pulang dan langsung menghias rumahnya dengan tabir warna-warni dan kelambu bertirai keemasan.

Malam harinya, dengan menyamar dan ditemani beberapa dayang, Tun Teja menyelinap pergi ke rumah Dang Ratna. Sesampainya di rumah Dang Ratna, Tun Teja disambut Tuah Sang Laksamana dan diajak ke kelambu bertirai keemasan yang telah dipersiapkan Dang Ratna. Dengan santun, Hang Tuah mempersilakan Tun Teja duduk. Tun Teja lalu menyorongkan tempat sirih kepada Tuah, sebagai pernyataan sikap hormat dalam adat Melayu. Tuah pun menyambutnya dengan santun.

Sejak malam itu, hubungan Tuah Sang Laksamana dengan Tun Teja semakin erat. Tun Teja pun semakin sering datang menemui Hang Tuah.

Beberapa waktu kemudian. lndrapura disinggahi perahu Melaka pimpinan Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura. yang datang dan membeli gajah di Myanmar. Mereka bertemu Tuah Sang Laksamana. Karena sudah saling kenal. permintaan Tuah Sang Laksamana ikut ke Melaka dikabulkan. Tuah Sang Laksamana membawa serta Tun Teja dan Dang Ratna.

Di perairan Riau Kepulauan, perahu Melaka diserang Tun Jenal. saudara Tun Teja, namun gagal. Rombongan Melaka melanjutkan perjalanan. Setibanya di Melaka, mereka disambut dengan meriah. Saat itulah. tampak Hang Tuah dengan tangan terikat, dan mengejutkan Raja Syah Alam yang duduk di balairung. "Mohon ampun, Tuanku! Selama ini saya tinggal di lndrapura dan sempat diminta jadi Laksamana, tapi saya tolak karena hanya ingin mengabdi pada Tuanku seorang,” jelas Tuah Sang Laksamana Yang Sakti. Raja Syah Alam lalu memerintahkan ikatan Hang Tuah dilepas.

Setelah ikatannya lepas. Tuah Sang Laksamana memberi hormat pada Raja Syah Alam. "Wahai. Tuanku. Hamba datang dari Indrapura untuk mempersembahkan anak panah manikam yang melekat di dada Duli Tuanku dan cermin yang Tuanku idamkan.“ kata Tuah Sang Laksamana yang sakti. Tun Ratna Diraja lalu menjelaskan bahwa Tuah Sang Laksamana telah membawa serta Tun Teja yang pernah diidamkan-idamkan Sang Baginda Raja.

Baginda Raja Syah Alam segera bangkit dan merangkul Hang Tuah. Dia lalu menyuruh dayang-dayang dan para istri pembesar kerajaan untuk menjemput Tun Teja. Hal tersebut tentu sangat mengejutkan Tun Teja. Ia pun menangis. Hang Tuah lalu memberinya pengertian, sambil berdoa dengan sungguh-sungguh agar hati Tun Teja dipalingkan darinya. la mohon agar Tun Tejn mau menerima pinangan Raja Syah Alam. Tun Teja pun akhirnyn mau menikah dengan Raja Syah Alam. meskipun Raja Syah Alam telah beristrikan Raden Galuh Mas Ayu. Setelah menikah, Tun Teja tinggal di Melaka. Hubungan antara lndrapura dan Melaka pun semakin baik. Tun Jenal yang semula menentang, akhirnya menyetujui saudaranya menjadi istri Raja Syah Alam. Tuah Sang Laksamana pun kembali menjadi Laksamana Melaka. Dengan kepandaian, kecakapan, dan kebijakannya, Kerajaan Melaka semakin maju dan berkembang.

Beberapa tahun kemudian, Hang Tuah kembali difitnah berbuat tidak sopan dengan seorang dayang istana. Penyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya bersama teman-temannya yang merasa iri dengan kedudukan Tuah Sang Laksamana. Mendengar kabar itu, tanpa mencari tahu kebenarannya, Raja Syah Alam kembali memerintah Bendahara Paduka Raja agar membunuh Hang Tuah.

“Aku hanya perlu kabar dia sudah mati!" Kata Raja Syah Alam saat Bendahara menghadap.

Dengan sedih, Datuk Bendahara pergi menemui Tuah Sang Pemegang Keris Taming Sari. “Maafkan aku, Tuah! Aku tak dapat berbuat apa-apa untuk membelamu."

Tuah Sang Laksamana Yang Sakti tetap tegar menerima hukuman Raja. Namun, Bendahara tidak tega membunuh Hang Tuah dan mengungsikannya ke Hulu Melaka. Peristiwa ini tidak diketahui oleh siapa pun. Sebelum pergi, Hang Tuah menitipkan keris Taming Sari pada Bendahara agar diberikan kepada Baginda Raja. Oleh Raja Syah Alam, keris Taming Sari lalu diberikan pada Hang Jebat.

Mulai saat itu, Hang Jebat menggantikan posisi Hang Tuah sebagai Laksamana Kerajaan Melaka.

Semenjak memberi hukuman kepada Hang Tuah, Raja Syah Alam selalu tampak murung.

“Menyesalkah Tuan telah membunuh Laksamana Hang Tuah?” tanya Hang Jebat. Raja Syah Alam tidak menjawab. Beliau tetap berusaha menutupi kesedihan hatinya.

Untuk menghibur hatinya, Raja Syah Alam meminta Hang Jebat melantunkan syair dan hikayat Melayu. Suaranya yang merdu membuat para dayang saling berebut mengintip Hang Jebat. Tak jarang Raja tertidur di hadapan Hang Jebat. Pada saat inilah, secara diam-diam, para dayang menggoda
Hang Jebat.

Setiap kali Raja Syah AIam pergi, Hang Jebat semakin berani bertindak tidak sopan di depan para pembesar kerajaan. Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu terpaksa mengingatkannya. Namun, Hang Jebat tidak mempedulikannya sedikit pun. Raja Syah Alam sebenarnya telah diperingatkan Tun Teja tentang sikap Hang Jebat itu. Namun, Raja Melaka tetap sayangi pada Hang Jebat. Raja Melaka malah
memberinya gelar Paduka Raja

Lama-kelamaan Raja Syah Alam menyadari keIaIaiannya yang terlalu terlalu memanjakan Hang Jebat. Dia tidak dapat lagi mengendalikan tingkah laku Hang Jebat dan terpaksa harus pindah ke Istana Raden Galuh Mas Ayu. Hang Jebat tinggal sendiri di istana bersama para dayang.

Mengetahui hal itu, Hang Kasturi pun berniat menyadarkan kekeliruan Hang Jebat. “Hai, Jebat. Keterlaluan perbuatanmu! Sekarang aku dititahkan raja untuk membunuhmu!” teriak Hang Kasturi sesampainya di halaman istana.

Sambil tersenyum, si Jebat berkata, “Ketahuilah olehmu, Saudaraku. Aku berbuat demikian ini karena Laksamana sudah dibunuh! Aku harus menuntut balas pada Raja Melaka. Demi Tuhan, aku tidak mau bertarung denganmu."

Hang Kasturi memahami maksud si Jebat. “Aku mengerti maksudmu, tapi aku diperintahkan oleh tuanku. Jika harus mati pun, aku rela."

Beberapa prajurit pengawal Kasturi lalu mengeroyok si Jebat. Namun, mereka bukanlah tandingan Hang Jebat, apalagi dengan keris Taming Sari pemberian Raja ada di tangannya. Korban pun berjatuhan. Setiap kali tikam, setiap kali pula nyawa melayang. Setelah semua prajurit tewas, Hang Kasturi tinggal sendiri berhadapan dengan Hang Jebat. Bukannya menyerang, Hang Jebat malah kembali masuk istana dengan tenang.

"Sekali lagi aku bilang, aku tidak ingin bertarung denganmu, Saudaraku!" seru Hang Jebat keras.

Hang Kasturi pun gagal. Temenggung Tun Utama, dan Tun Bija Sura juga mencobanya, namun mereka juga tidak berhasil.

Raja semakin khawatir menyaksikan perbuatan Hang Jebat yang semakin kurang ajar. Ia terkenang pada Hang Tuah. “Sayang si Tuah sudah tidak ada. Di mana akan kucari orang seperti dia,” gumam Raja. Ia termenung, menyesali tindakannya yang telah memerintahkan untuk membunuh Hang Tuah.

Saat itulah Bendahara menghadap dan menceritakan bahwa Hang Tuah masih hidup. “Maafkan saya, Tuanku, karena telah melanggar perintah Tuanku. Hang Tuah tidak saya bunuh. Sekarang dia masih hidup di Huiu Melaka.” Mendengar hal itu Raja Melaka sangat gembira. Ia pun kemudian memerintahkan agar Hang Tuah segera dijemput.

Kemunculan Hang Tuah di Melaka disambut dengan sukacita. "Hai. Laksamana! Aku sangat dipermalukan. Aku minta bantuanmu untuk menghapus arang di mukaku ini,". kata Raja Syah Alam ketika menyambut Hang Tuah.

"Daulat Tuanku,” Tuah Sang Pemegang Keris Taming Sari memberi hormat. Karena masih letih. Hang Tuah pamit terlebih dahulu untuk beristirahat.

Setelah tenaganya pulih, Tuah kembali menghadap Raja dan menyatakan kesiapannya melawan Hang Jebat. Hang Tuah meminta kembali keris Taming Sari pada Raja Syah Alam. Tapi keris itu sudah terlanjur diberikan pada Hang Jebat. Sebagai gantinya, Hang Tuah diberi keris Purung Sari.

Dengan keris Purung Sari itulah Tuah Yang Sakti pergi ke istana raja untuk menemui Hang Jebat.

Sesampainya di halaman istana, Hang Tuah berteriak. “Hai, Jebat! Mengapa engkau tidak setia pada rajamu? ”

Mendengar suara itu, Hang Jebat berdebar-debar. Suara itu mengingatkannya pada Tuah Sang Laksamana. “Laksamana sudah mati dibunuh Bendahara, siapa pula yang datang ini, seperti Laksamana,” pikirnya. Hang Jebat lalu menjawab, “Siapa engkau yang hendak menantangku?”

“Hai, Jebat. Akulah Laksamana Hang Tuah yang baru datang dari Hulu Melaka."

Hang Jebat terdiam dan termenung. “Hai, Laksamana, jika tahu engkau masih hidup, aku tak akan melakukan perbuatan ini!"

“Kenapa engkau juga membunuh orang-orang yang tak berdosa? Besar sekali dosamu Jebat..!!" teriak Tuah Yang Sakti sambil meloncat ke dalam istana. Keduanya pun langsung berkelahi dengan seru. Hingga berjam-jam, tak satu pun yang terluka.

Pada suatu kesempatan, Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari, dan menghujamkannya ke dada Hang Jebat. Hang Jebat pun merintih kesakitan, hingga membuatnya terpaksa lari dan bersembunyi, setelah sempat merebut kain selempang Hang Tuah untuk membalut luka dadanya.

Setelah membalut lukanya. Hang Jebat mengamuk. Bahkan hingga ke tengah pasar dan perkampungan masyarakat. Kajadian ini berlangsung beberapa hari. Korban tak berdosa pun terus berjatuhan.

Tuah Sang Laksamana merasa bertanggung jawab untuk menghentikan perbuatan Hang Jebat.

“Hai. Jebat. Hentikan perbuatanmu dan segeralah bertobat!" Mendengar seruan itu. Hang Jebat malah menertawainya. Keduanya pun kembali bertarung. Hingga akhirnya, saat lukanya semakin parah, Hang Jebat pun tersungkur dan tak sanggup lagi berdiri. la hanya bisa mengeluh kesakitan.

“Hai. Sahabatku. Segeralah habisi nyawaku ini! " kata Hang Jebat sambil merangkak mendekati Hang Tuah. Tuah Sang Laksamana pun segera memapah Hang Jebat ke dalam rumahnya. Luka Hang Jebat lalu dibersihkan dan dibalut lagi dengan kain selempang Hang Tuah. Namun, Hang Jebat sepertinya tak sanggup lagi untuk bertahan. Hang Jebat lalu berpesan pada Tuah Sang Laksamana, “Tuah, Aku punya satu permintaan. Tolong pelihara anakku yang akan lahir dari kandungan Dang Baru. Kalau dia laki-laki, berilah nama Hang Kadim!" desah Hang Jebat sambil menahan perih luka di dadanya. Hang Tuah mengiyakan permintaan itu, lalu memberi sekapur sirih agar dimakan Hang Jebat. Kemudian Hang Jebat meminta agar Tuah Sang Laksamana melepaskan balutan luka di dadanya. Balutan itu dibuka pelan-pelan dan seketika itu Hang Jebat meninggal di pangkuan Hang Tuah.

Sejak kematian Hang Jebat, Melaka kembali tenteram. Rakyat Melaka dapat mambangun negerinya kembali hingga menjadi kerajaan besar. Hang Tuah pun kembali diangkat menjadi Hu ubalang Kerajaan Melaka.

Setelah beberapa tahun, Melaka berkembang menjadi kerajaan yang cukup dikenal oleh negeri-negeri di Asia dan di Eropa. Dengan dermaga internasionalnya negeri ini menjadi pusat perdagangan yang penting dan ramai di Asia Tenggara. Kapal-kapal dagang yang datang dari seluruh penjuru dunia melakukan transaksi dagang disini. Rakyat Melaka semakin sejahtera.

Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, Raja Syah Alam mengirim utusan dagang ke Kerajaan Bijaya Nagaram di India yang dipimpin Laksamana Hang Tuah.

Setelah berlayar beberapa hari, Tuah Sang Laksamana dan para pembesar Melaka sampai di India. Rombongan tidak hanya disambut hangat oleh para pembesar kerajaan, tetapi juga oleh Raja Kerajaan Bijaya Nagaram. Karena kecakapannya, Hang Tuah pun dipercaya memimpin duta Kerajaan Bijaya Nagaram ke negeri China.

Beberapa hari kemudian rombongan Kerajaan Bijaya Nagaram pimpinan Tuah Sang Laksamana berlayar ke negeri Cina. Ketika sampai di pelabuhan Cina, Syahbandar mempersilahkan rombongan itu berlabuh di samping perahu-perahu Portugis. Hal ini diprotes oleh orang-orang Portugis.

“Hei, jangan merapatkan perahu kalian dekat perahu kami. Kalau Kapten kami datang, kalian akan ditembak!” teriak salah seorang awak kapak Portugis.

Sikap ini hanya ditertawakan Hang Tuah, hingga membuat orang Portugis marah. “Mengapa harus marah seperti itu? Kami ini pendatang juga. Di mana disuruh berlabuh, disitulah kami ikuti. Tapi kalau memang hendak menantang, satu lawan satu pun kami tidak takut,” sindir Tuah Sang Laksamana. Tanpa memperdulikan kemarahan orang Portugis, rombongan Hang Tuah turun dari geladak kapal.

Hang Tuah dan rombongan lalu menghadap empat menteri kerajaan negeri Cina. Sebelum masuk menghadap Baginda Raja, keempat menteri itu berpesan agar Tuah Sang Laksamana dan rombongan tidak memandang wajah Raja Cina, apalagi menatapnya.

Kedatangan rombongan Hang Tuah di istana disambut Raja Cina dengan hangat. Meskipun sudah empat kali menghadap, Tuah Sang Laksamana masih belum dapat melihat wajah Raja Cina. Hang Tuah lalu menemukan cara agar dapat melihat wajah Raja Cina. Ia akan memesan mie dan sayur kangkung yang tida dipotong-potong. “Ketika makan, kepalaku harus mendongak. Saat itulah wajah Raja Cina pasti akan terlihat,” pikir Tuah Sang Laksamana.

Ketika berlangsung perjamuan, Hang Tuah berhasil melaksanakan siasatnya, hingga dapat melihat wajah Raja Cina. Tindakan Tuah Sang Laksamana ini rupanya diketahui pengawal Raja yang segera hendak menangkapnya. Untunglah, Raja Cina mencegahnya. “Hai, Pengawal. Jangan kalian hukum dia! Dia orang bijaksana dan berbudi,” kata Raja Cina.

Sejak peristiwa itu, Raja Cina justru memberikan berbagai macam hadiah kepada Hang Tuah. Beberapa hari setelah perundingan dengan para pembesar Cina selesai, Tuah Sang Laksamana dan rombongan bertolak kembali ke India.

Ketika awak perahu Hang Tuah mulai menarik tali jangkar di pelabuhan Cina. Beberapa perahu Portugis bermaksud menghadang perahu Hang Tuah. Hal ini membuat Syahbandar Cina marah. “Hei Portugis. Kalau mau berkelahi, di tengah laut saja. Jangan di pelabuhan ini,” teriaknya.

Beberapa perahu Portugis kemudian segera berlayar ke tengah Iaut. Di tengah laut, perahu-perahu Portugis yang dilengkapi dengan meriam menghadang perahu Hang Tuah. Mereka pun langsung menyerang perahu Hang Tuah dengan menembakkan meriam. Namun, setiap kali hendak ditembakkan, meriam itu tidak dapat meletus karena kesaktian Hang Tuah.

Terjadilah perang Iaut antara perahu antara perahu Hang Tuah dan perahu Portugis. Peperangan itu dimenangkan Tuah Sang Laksamana. Kapten perahu Portugis dan seorang perwiranya kemudian terjun ke laut, melarikan diri ke Manila, Filipina.

Rombongan Tuah Sang Laksamana meneruskan perjalanan ke India dengan tenang. Selanjutnya, mereka pulang ke Melaka.

Setibanya di Melaka, Tuah Sang Laksamana melaporkan hasil kunjungannya ke India dan Cina pada Raja Syah Alam. Banyaknya negeri sahabat Melaka semakin menyibukkan Raja Melaka, hingga membuatnya jenuh. Untuk menghiIangkan kejenuhan itu, Raja Melaka dan keluarganya berwisata ke Singapura.

Maka berangkatlah rombongan Raja. Raden Galuh Mas Ayu naik perahu Mendam Birahi yang dinahkodai Tuah Sang Laksamana Yang Sakti. Raja Syah Alam dan Tun Teja naik perahu Kota Segara, diikuti perahu Batil Tuasa yang dinaiki Bendahara Paduka Raja, dan perahu Rancung Mengkuang yang dinaiki anak Bendahara.

Ketika sampai di Selat Singapura, tiba-tiba terlihat seekor ikan bersisik emas dan bermatakan mutu manikam di sekitar perahu Raja Syah Alam.

Rombongan Melaka berebut ingin melihatnya, termasuk Raja Syah Alam dan Tun Teja. Ketika menengok ke permukaan air itulah, tiba-tiba mahkota emas terlepas dan tanggal dari kepala Raja Syah Alam. Dia segera menyuruh pengawal meminta bantuan Hang Tuah untuk menyelami Iaut di sekitar perahu.

Mendapat laporan pengawal raja, Hang Tuah langsung terjun ke laut sambil menghunus keris Taming Sari. Di dasar laut, ia menemukan mahkota raja dan segera membawanya ke permukaan air. Ketika hampir mencapai perahu, tiba-tiba muncul seekor buata putih yang sangat besar. Karena terkejut, keris dan mahkota di tangan Hang Tuah pun terlepas.

Tanpa rasa takut, Hang Tuah pun segera memburu buaya itu, hingga berhasil menangkap ekor dan bertarung dengannya. Namun, buaya itu ternyata pintar. la menyeret Tuah Sang Laksamana jauh ke dasar laut yang sangat dalam dan gelap. Karenanya, Tuah Sang Laksamana pun jadi kehabisan udara, dan harus kembali sejenak ke permukaan untuk menghirup udara. Setelah itu, Hang Tuah pun kembali memburu buaya putih tadi. Namun, apa mau putih itu telah lenyap, berikut juga dengan mahkota Sang Raja. Hang Tuah pun kesal, dan dengan terpaksa kembali ke permukaan. Rombongan raja yang melihat pusaran air laut tak jauh dari perahu mengira Tuah Sang Laksamana telah mati. Ternyata, Hang Tuah selamat.

“Ampun, Tuanku! Saya tidak berhasil mendapatkan mahkota emas itu,” kata Tuah Sang Laksamana setelah naik ke kapal Raja Syah Alam.

“Sudahlah, kalau memang sudah demikian kehendak Yang Maha Kuasa, apalah daya kita, yang penting Laksamana selamat,” jawab Baginda Raja dengan wajah sedih.

Baginda Raja lalu menyuruh Bendahara memerintahkan semua perahu memutar haluan, kembali ke Melaka. Sejak peristiwa itu, Raja Syah Alam selalu terlihat bersedih. Laksamana Hang Tuah pun mulai sering sakit dan jarang menghadap rajanya.

Sementara itu, di markas Portugis di Manila, Filiplna

Gubemur Portugis di Manila, Filiina sangat marah mendapat laporan dua orang perwiranya yang menceritakan kekalahan di perairan Laut Cina Selatan.

Kejadian ini akhirnya dilaporkan ke pusat Kerajaan di Lisabon, Portugis.

Mendapat laporan itu, Raja Portugis memerintahkan Dong Suala dan Gubernur Portugis di Manila menjadi panglima perang untuk membalas kekalahan atas Melaka. Setelah melakukan persiapan beberapa bulan, angkatan perang Portugis yang berkekuatan empat puluh perahu perang bergerak menuju ke Selat Melaka.

Ketika kapal-kapal Portugis sampai di perairan Bintan. Selat Melaka, Raja Syah Alam langsung memerintahkan kepada seluruh rakyatnya di seluruh teluk, tanjung, rantau,dan daratan untuk ikut mempertahankan Melaka dari ancaman Portugis.

Karena Laksamana Hang Tuah sedang sakit, Raja Syah Alam memerintahkan Maharaja Setia dan Maharaja Dewa untuk memimpm perlawanan yang berpusat di Laut Bintan.

Dalam sekejap, Laut Bintan sudah penuh dengan riuh dan gemuruhnya dentuman-dentuman meriam dan teriakan para prajurit Melaka dan Portugis.

Mendapat laporan Bendahara, Raja Syah Alam segera memerintahkan untuk meminta bantuan Tuah Sang Laksamana yang saat itu sedang sakit. Bendahara pun pergi menemui Hang Tuah. Ketika Bendahara Paduka Raja sampai di rumahnya, Tuah Sang Laksamana terlihat masih lemah. Bendahara kemudian membantu Tuah Yang Sakti duduk, lalu menceritakan ancaman serangan Portugis. Mendengar berita itu, Tuah Sang Laksamana memaksakan diri untuk pergi menuju istana. Ketika sampai di istana, ia disambut Raja Syah Alam.

“Mari, mari Laksamana," sambul Raja Syah Alam. “Kita semua ikut merasa sedih atas kondisi Laksamana. Tapi sekarang, bagaimana pendapal Laksamana? Empat puluh perahu Portugis dengan peralatan Iengkap akan menyerang Melaka."

“Apalagi yang kita tunggu? Secepatnya kita harus mengusir mereka dari sini," sahut Tuah Sang Laksamana seraya menyatakan kesiapannya menjadi panglima perang.

Niat itu pun Iangsung direstui oleh Raja Syah Alam.

Walaupun masih sakit, Laksamana Hang Tuah tetap memimpin pasukan Melaka. Peperangan dahsyat pun terjadi lagi di Selat Melaka. Suara meriam saling bersahutan. Banyak pasukan Portugis dan Melaka yang mati.

Dengan berani Tuah Sang Laksamana meloncat naik ke sebuah perahu Portugls dan melibas habis semua prajurit Portugis yang ada di atasnya.

Melihat banyak kawannya yang mati, enam perahu Portugis kembali ke pangkalan. Dua Panglima Perang Portugls, Kapitan Gubernur dan Dong Suala, sangat marah mendengar laporan itu. Mereka kemudian segera membantu prajuritnya yang tengah berperang di Seat Melaka.

Kedatangan bantuan Portugis itu disambut Tuah Sang Laksamana dengan tembakan meriam. Akibatnya, tiang layar perahu Kapitan Gubernur dan Dong Suala patah. Serangan itu dibalas Kapitan Gubernur yang juga menyebabkan tiang layar dan kemudi perahu Maharaja Setia patah. Peluru prajurit Melaka berhasil melukai Kapitan Gubernur Portugis. La jatuh terduduk. Beberapa saat kemudian, praiurlt berhasil melukai Panglima Dong Suala.

Walaupun beberapa pemimpinnya sudah tidak berdaya, para prajurit Portugis terus menembaki perahu-perahu Melaka dengan membabi-buta. Saat itulah, tiba-tiba sebuah peluru mesiu menghantam Tuah Sang Laksamana. Dia pun terpelanting sejauh 7 meter dan jatuh ke laut. Beberapa perahu prajurit Melaka segera menyelamatkan Tuah Sang Laksamana, lalu dinaikkan ke perahu Mendam Birahi. Walaupun badannya kebal dan tak Iuka sedikit pun, tetapi Tuah Sang Laksamana tak dapat berkata-kata.

Laksamana Hang Tuah dibawa perahu Mendam Birahi kembali ke Melaka, diikuti perahu Maharaja Setia dan Maharaja Dewa. Karena banyak pemimpinnya yang terluka, para prajurit Portugis pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke pangkalannya di Manila, Filipina.

Beberapa tahun kemudian.....

Baginda Raja Syah Alam sudah tidak lagi memimpin kerajaan Melaka, dan telah digantikan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang. Saat itu, Laksamana Hang Tuah sudah tidak lagi menjabat sebagai laksamana kerajaan Melaka. Ia sudah lanjut usia, dan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka.

Mengetahui keadaan ini, Portugis datang dengan berpura-pura sebagai pedagang. Mereka mendapat izin dari Tuanku Putri Gunung Ledang untuk membangun gudang-gudang besar tempat menyimpan barang-barang perniagaan mereka di Melaka.

Ternyata gudang itu bukan saja berisi barang-barang perniagaan, tetapi juga meriam, mesiu, dan peralatan perang lainnya. Gudang tersebut akhirnya dijadikan benteng. Melalui “gudang-benteng” inilah kemudian Portugis menyerang, menghancurkan, dan merebut Melaka. Prajurit Melaka melawan serangan Portugis dengan gagah berani, namun karena persenjataan Portugis sangat kuat dan lengkap, akhirnya dengan terpaksa para pemimpin kerajaan pun harus mengungsi ke Johor, Riau, Singapura, dan daerah sekitarnya untuk menyusun kekuatan baru.

-TAMAT-

Tulisan ini sambungan dari tulisan pertama :
HIKAYAT HANG TUAH KSATRIA MELAYU Bagian Pertama

Bacaan Lain :
Ketika Hang Tuah Menjadi Disertasi
PATRIOTISME HANG TUAH
Hikayat Hang Tuah, antara Sejarah dan Mitos