Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bujanggi Performance - Jazz Melayu

Bujanggi Jazz Melayu Performance

Hidangan bunyi dengan kemiripan misteri. BUJANGGI, mengawali kegelisahan waktu dalam pengucapan jazz sejati. Kemiripan bunyi yang bertapak akrhaik-purba, seakan memperoleh laman ‘pertengkaran’, bahwa bunyi itu ialah sejumlah bunyi kekinian, tak semata purba. Tapi dia seakan bergerak pada sebuah palung sungai purba tentang bebunyian dunia, yang dinukil lewat gendang telinga manusia. Kemudian diolah dalam rasa ‘bunyi’ manusia, menjadi nada, jadi jampi, dan pengobat tentang segala nadi bebunyi yang mengisi seluruh ‘kota bunyi’. Inilah ‘kota bunyi’ [sound city] sejati, dalam serangkaian penjumlahan dan persimpangan yang berbagi, berkali dan tak mengenal ‘berkurang’.

BUJANGGI PERFORMANCE,
MAJELIS DUNIA
BANDAR SERAI 16-17 MARC, 2012
PEKANBARU

KOMPOSER: ERIBOB
GROUP: BUJANGGI
JENIS ALIRAN: JAZZ
LIRIK: YUSMAR YUSUF [DI LUAR DAMAK]

Composer Eri Bob, seorang jenius ‘bebunyian’ Riau, tak laut tak darat. Tak sungai tak selat, mengecat ruang riang dalam gelegar bunyi mendayu, gemuruh, menyentak dan menghentak. Di situ… ya di ujung dari segala bunyi, tersergam kasih, sayang, damai dalam sejumlah ‘persaksian’ mengenai kehadiran cerita langit nan memucuk, darat yang menyata, air nan memuka, yang meng-ada dalam kilas balik perjalanan umat manusia: MAJELIS DUNIA.

Persaudaraan, ialah nukilan agung tentang manusia dan sejumlah perkauman dalam persimpangan yang menyulut gaduh, badai, hingga perang bani dan berujung rujuk. Sejak Ibrahim mengeja langit; bulan memujuk, matahari menunjuk. Sejak Ibrahim merapah segala lembah, air bertajuk. Sejak Ibrahim mendaki, semua rendah menjadi tinggi. Inilah awal “MAJELIS DUNIA” mengenai kesadaran ruang, kesadaran waktu, kesadaran tentang YANG SATU, keniscayaan mengenai batu yang diremas jadi puisi. Segala batu, dia berpembawaan mulia…. Dan bebatuan itu ketika digerinda, dipancung dengan ketajaman yang laju, dia berubah jadi wangi, menghiasi jemari. Jadi permata.

MAJELIS DUNIA, mengungkai sirah perjalanan batu jadi gemala. Bunyi jadi mustika. Bebatuan ialah amsal manusia yang beku dan bebunyian yang menjinak segala beku, lalu laju menuju arasy YANG SATU.

Dengan ‘simpai jazz’ sebagai pilihan ‘musica-franca’, Eri Bob menghidang dan mengukir dunia, menyerbu dunia dari sebuah titik kabus di atas planet bunyi, yang berjarak beribu batu dari tanah Ur, tempat Ibrahim berseruuuuu…. Menghidu UUUU di dua kota bunyi. Ur dan Pekanbaru.

Musik yang akan dimainkan :

  1. Jempana; jazz, sebuah rasa tentang cara mengusung dan menandu segala bunyi, sehingga menjadi sediaan tentang ‘memilih’ , bagaimana ‘memilih’ dan membuat pilihan di atas segala usungan bunyi yang merayap dan kuyup disimbah masa yang teramat gelap. Rasa Melayu, menyusup dalam ‘pengucapan’ jazz nan jelita dan mewarta. Entahlah… yang jelas bebunyian jazz, mengusung dan mengusung ‘sesuatu’.
  2. Nocturnal; malam, mengusung ambience yang menggairah bagi segala makhluk; tak merayap, tak melata, bergelantungan, bertuntun cahaya, di lantai bumi, dasar laut. Malam ialah puisi, bagi semesta. Bintang hadir dengan kisah yang jauh dan berjulur. Bulan menimbul, mengambang dan hilang. Demikianlah bunyi, kala malam dia bersahut dalam serbuk misteri nan sayup. Sesayup-sayup waktu menghulu.
  3. Gadget Generation; berterimakasih ke masa kini. Ya…. Anak-anak dan zamannya yang laksana bunda kandung dari generasi digital. Segala ihwal selesai di ujung jemari, sejak kicau minor hingga revolusi “Arab Spring”. Dia hadir di celah gang dan ramai bergemuruh di taman square, segala mall dan penanda penting dari makhluk “consumo ergo sum” [Belanja, karena itu aku ada]. Dia telah menawan “cogito ergo sum” dalam penjara waktu yang bergumpal.
  4. Majelis Dunia; inilah persidangan agung yang dihadiri gunung-gunung, lembah, padang gurun, laut, sungai, teluk, jazirah, tasik dan sejumlah risau dan gairah. Majelis yang meletakkan segala tempat dengan tapaknya, segala roh dengan spiritnya, segala putik dengan tangkainya, segala indah dengan kaidahnya. Ya, Ibrahim yang membelah jazirah demi sebuah ‘majelis persidangan’: Majelis Allah, Majelis Dunia…
  5. Sendalu; jangan berharap datang angin sendalu, jika ‘sakal’ juga yang mengantar bahtera ke tanah seberang. Dan kita pun sampai ke tanah jauh, walau sakal, walau sendalu…. Maka keluar dan bergeraklah dalam pencarian dan pencarian, sehingga pencarian, berujung temu dan menemu…
  6. Puncak Selesa; ya mahligai di puncak tempat orang melepas segala resah. Inilah puncak selesa… di puncak, orang berhanyut dalam imaji dan seru tiada satu
  7. Damak; dalam cita yang mengatasi, sebuah meta-historia mengenai lalu dan kini, demi menerjemah akan. Dia tak sosok, tak angin dan tak waktu. Dia bersemayam dalam ingatan medium, bukan minor, tapi mayor. Dengan rasa jazz, Damak berkayuh waktu dan melintas segala penat.

[naskah disediakan oleh yusmar yusuf, budayawan Melayu]
Tulisan asli tertanggal 2 Maret 2012