Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bom Bagan (Bagansiapiapi)

Bom Pelabuhan Bagansiapiapi

Bom Bagan dan sebuah senja. Dulu dan dulu lagi, seorang penyair anak Parit Aman dekat Serusa dan Raja Berjamu, membuat Puisi melodis dan mengoyak hati, bertajuk Bom Bagan. Ya, Ediruslan Pe Amanriza. Dia anak jati Bagan Siapi-api. Sebuah kota pesisir pantai berada di estuaria Rokan yang kaya, berdepan selat Melaka bergulung sejarah bahari. Tiang-tiang Bom Bagan [dermaga] itu kini telah terpacak di tengah daratan, tersebab sedimentasi muara sungai yang menyerbu ke daratan. Bagan menjulur bak jazirah baru. Bagan di kepung sungai sempit berlumpur di celah pulau Berkey.

Dulu dan dulu lagi, saya pernah lama bermastautin di Bagan dalam sebuah riset sosial. Bergerak dari kampung ke kampung. Sesekali menetas pusat kota seraya minum teh dan kopi, mie Hailam. Menikmati indah senja, makan tepi jalan, hiruk pikuk becak dan motor hilir mudik. Keramahan orang Bagan, tiang kayu nan kukuh Perguruan Wahidin, serta jazirah kenangan sepanjang jalan Perdagangan yang mayor diperkenalkan Ediruslan dalam syair atau sajak-sajak.

Dan kini, pada sebuah malam, saya menyaksikan genderang serba berubah yang menyerbu Bagan. Dulu dibungkus sabut dan jalan papan, menjadi pemandangan eksotis dalam takungan Bagan yang molek. Dia sebuah Bandar kecil yang bergemuruh, berubah dan mencari bentuk-bentuk baru dalam perjumpaan-perjumpaan baru. Kini, Bagan tak didatangi lagi dari laut. Dia seolah bukan kota air, tak kota pesisir, tapi kota benua. Dulu, jika hendak ke Bagan, semua berdasarkan jadual kapal berpergian dari Dumai dan Asahan. Kini orang ke Bagan, tak terikat waktu. Dia menjadi kota terbuka. Bagan berubah jauh dan jauh. Dalam gelap malam saya meraba, mana Bom Bagan yang menyisa beberapa tiang, tugu batu kecil prasasti ‘perjanjian dengan setan’, mana kuil Cina tua?... Semua berubah dan bergemuruh.

Kedai Cina dengan gaya arcade, bertiang kayu. Kedai Cina berdinding kayu warna khaki, juga berubah semarak dalam bungkus warna-warni berdasarkan ketersediaan pulsa warna. Bupati Annas begitu kuat dan hadir pada setiap sudut kota ini. Dia sosok yang bijak. Kepemimpinan gaya penghulu masa lalu yang dekat dengan rakyat, menyelam kemauan rakyat yang berhati keras. Tanah dengan orang-orang berhati keras ini, seperti menemukan buku dan ruas. Akibatnya? Tanah dan negeri ini begitu maju dan menemukan bentuk-bentuk baru.

Bom Bagan tinggal kenangan. Kini, tersergam wajah aquatika Bagan di pesisir Rokan Batu Enam. Horizon selat Melaka seperti menghanyut dan menjahit rindu tentang masa lalu dan sesuatu yang serba akan. Annas adalah makhluk masa lalu yang bergairah menghadirkan sesuatu bersuasana ‘akan’. Rokan Hilir menuju ‘akan’ yang begitu jauh. Dan jauh meninggalkan induknya di Bengkalis yang bercogan besar namun bertindak kecil. Annas seakan tokoh yang tak pernah mengusung cogan itu dan cogan ini. Tapi tindak dan perbuatannya besar dan gergasi, untuk meniti jazirah masa depan bagi anak-anak Rokan. Bom Bagan adalah kenangan yang dicatat Ediruslan dalam narasi panjang dan berjuntai. Annas menyuruh kita mencatat Bom Bagan dalam bungkus modern, tapi dalam rasa Melayu estuaria.

[yusmar yusuf]
Tulisan asli tertanggal 1 Maret 2012

Sumber Gambar :
Tepi Laut Bagan Siapi-api 1939
Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde
Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies